Sejarah Awal Mula Kabupaten Aceh Utara Provinsi Aceh
Sunday, August 18, 2019
Add Comment
Kabupaten Aceh Utara adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Aceh, Indonesia.
Ibukota kabupaten ini dipindahkan dari Lhokseumawe ke Lhoksukon, menyusul dijadikannya Lhokseumawe sebagai kota otonom.
Kabupaten ini tergolong sebagai kawasan industri terbesar di provinsi ini dan juga tergolong industri terbesar di luar pulau Jawa, khususnya dengan dibukanya industri pengolahan gas alam cair PT. Arun LNG di Lhokseumawe pada tahun 1974. Di daerah wilayah ini juga terdapat pabrik-pabrik besar lainnya: Pabrik Kertas Kraft Aceh, pabrik Pupuk AAF (Aceh Asean Fertilizer) dan pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM).
Dalam sektor pertanian, daerah ini mempunyai unggulan reputasi sendiri sebagai penghasil beras yang sangat penting. maka secara keseluruhan Kabupaten Aceh Utara merupakan daerah Tingkat II yang paling potensial di provinsi dan pendapatan per kapita di atas paras Rp. 1,4 juta tanpa migas atau Rp. 6 juta dengan migas.
Sejarah Kabupaten Aceh Utara
Aceh Utara sekarang menempati bekas wilayah Kerajaan Islam Samudera Pasai. Kesultanan Pasai menurut beberapa pendapat disebutkan sebagai kerajaan pertama yang mengadopsi sistem pemerintahan Islam di Nusantara.
Kesultanan Pasai mengalami lebih kurang 300 tahun masa jaya hingga kedatangan penjelajah dari Eropa yang menundukkan kesultanan itu hingga hampir tak bersisa. Sedikit saja dari jejak sejarah kebesaran Kesultanan Pasai yang masih kita jumpai saat ini.
Situs sejarah Samudera Pasai yang paling menonjol adalah kompleks makam Sultan Malikussaleh dan Makam Sultanah Nahrasiyah yang berlokasi di pesisir kecamatan Samudera sekarang.
Pada masa lalu seringkali artefak sejarah berupa koin uang emas ditemukan terpendam berserakan di tanah pada bekas pertapakan ibukota Kesultanan Pasai masa lampau, namun kini penemuan ini sudah jarang terjadi.
Ketika Belanda menginvasi Aceh dan berhasil menegakkan pemerintahan kolonial pada 1904, Aceh Utara ditetapkan sebagai sebuah (Kabupaten) Afdeeling yang dipimpin oleh Asisten Residen. Wilayah yang luas ini dinamakan sebagai Afdeeling Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara).
Afdeeling ini dibagi dalam 3 onderafdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu :
Disamping itu pemerintah Hindia Belanda juga menetapkan beberapa Daerah Kekuasaan Ulee Balang yang memiliki pemerintahan sendiri terhadap daerah dan rakyatnya.
Daerah ini dinamakan sebagai Zelf Bestuur yaitu Selain Onder Afdeeling tersebut di Aceh Utara juga terdapat beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang berhak memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Ulee Balang Keureutoe, Geureugok, Jeumpa, dan Peusangan masing-masing Zelf Bestuur ini dipimpin oleh Ampon Chik.
Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh Ulasan pasang surut, mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 Bayern 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa penjajahan Belanda.
Secara umum, Belanda pada tahun 1904, yaitu iseng-iseng belaka di Aceh, Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat keputusan Vander Geuvemement Jenderal Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin sebagai Penduduk Asisten, salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie ( Monografi Aceh Utara tahun 1986, BPS dan BAPPEDA Aceh Utara ).
Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Wee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa, dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik.
Pada masa pendudukan Jepang disebut Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur Disebut Sun, Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi. Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai Negara Merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949.
Melalui Konfrensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak mencerminkan pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik Indonesia Serikat kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan selanjutnya Undang-Undang 1950 menjadi negara bagian dan statusnya berubah menjadi propinsi.
Aceh yang pada saat itu bukan negara bagian, Propinsi Sumatera Utara. Dengan Undang Undang Darurat Nomor 7 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom setingkat Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, terbentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara yang juga termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara.
Keberadaan Aceh di bawah Propinsi Sumatera Utara memungkinkan rasa tidak puas pada para tokoh Aceh yang membutuhkan agar Aceh tetap menjadi provinsi dan tidak di bawah Sumatera Utara. Gagasan ini tidak didukung oleh sebagian masyarakat Aceh terutama yang berada di luar Aceh.
Keadaan ini memicu pembentukan tokoh-tokoh Aceh dan perkembangan pemberontakan DIMI pada tahun 1953. Pemberontakan ini baru dilakukan dengan Wakil Perdana Menteri Bapak Hardi ke Aceh yang dikenal dengan Missi Hardi dan kemudian menghasilkan Daerah Istimewa Aceh.
Dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I / Missi / 1957, lahirlah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk ke dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959.
Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu:
1. Kewedanaan Bireuen Terdiri atas 7 kecamatan
2. Kewedanan Lhokseumawe Terdiri atas 8 Kecamatan
3. Kewedanaan Lhoksukon Terdiri atas 8 kecamatan
Dua tahun kemudian keluar Undang Undang Nomor 18 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU wilayah kewedanaan pemotongankan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten Daerah Tingkat II.
Dengan surat keputusan Gubemur Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 07 / SK / 11 / Des / 1969 tanggal 6 Juni 1969, wilayah bekas kewedanaan Bireuen ditetapkan menjadi daerah wakil Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan yang kini sudah menjadi kabupaten Bireun.
Dengan berkembangnya Kabupaten Aceh Utara yang semakin pesat, pada tahun 1986 dibentuklah Kotif (Kota Administratif) Lhokseumawe dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1986 yang membawahi 5 kecamatan.
Dan berdasarkan Kep Mendagri Nomor 136.21-526 tanggal 24 Juni 1988 tentang pendirian wilayah kerja pembantu Bupati Pidie dan Pembantu Bupati Aceh Utara dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, maka terbentuklah Bupati Pembantu Bupati Aceh Utara di Lhoksukon, pada saat ini Kabupaten Aceh Utara terdiri dari 2 Pembantu Bupati, 1 administrasi kota, 26 kecamatan kecamatan yaitu 23 kecamatan yang sudah ada ditambah dengan 3 kecamatan pemekaran baru.
Sebagai penjabaran dari UU nomor 5 tahun 1974 pasal 11 yang disebutkan dengan titik berat otonomi daerah pada tingkat II lalu pernerintah untuk proyek otonomi daerah. Aceh Utara ditunjuk sebagai daerah tingkat II percontohan otonomi daerah.
Pada tahun 1999 Kabupaten Aceh Utara yang terdiri dari 26 Kecamatan dimekarkan lagi menjadi 30 kecamatan dengan membawahi empat kecamatan baru berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999.
Berkeinginan dengan pemekaran kecamatan baru tersebut, Aceh Utara harus merelakan sepertiga sepertiga wilayahnya untuk menjadi kabupaten baru, yaitu Kabuparten Bireuen berdasarkan Undang Undang nomor 48 tahun 1999. Wilayahnya meliputi bekas wilayah Pembantu Bupati di Bireuen.
Kemudian pada Oktober 2001, tiga kecamatan dalam wilayah Aceh Utara, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat digunakan Kota Lhokseumawe. Saat ini Kabupaten Aceh Utara dengan luas wilayah sebesar 3.296,86 Km2 dan berpenduduk sebanyak 541.878 jiwa dalam 27 kecamatan.
Ibukota kabupaten ini dipindahkan dari Lhokseumawe ke Lhoksukon, menyusul dijadikannya Lhokseumawe sebagai kota otonom.
Kabupaten ini tergolong sebagai kawasan industri terbesar di provinsi ini dan juga tergolong industri terbesar di luar pulau Jawa, khususnya dengan dibukanya industri pengolahan gas alam cair PT. Arun LNG di Lhokseumawe pada tahun 1974. Di daerah wilayah ini juga terdapat pabrik-pabrik besar lainnya: Pabrik Kertas Kraft Aceh, pabrik Pupuk AAF (Aceh Asean Fertilizer) dan pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM).
Dalam sektor pertanian, daerah ini mempunyai unggulan reputasi sendiri sebagai penghasil beras yang sangat penting. maka secara keseluruhan Kabupaten Aceh Utara merupakan daerah Tingkat II yang paling potensial di provinsi dan pendapatan per kapita di atas paras Rp. 1,4 juta tanpa migas atau Rp. 6 juta dengan migas.
Sejarah Kabupaten Aceh Utara
Aceh Utara sekarang menempati bekas wilayah Kerajaan Islam Samudera Pasai. Kesultanan Pasai menurut beberapa pendapat disebutkan sebagai kerajaan pertama yang mengadopsi sistem pemerintahan Islam di Nusantara.
Kesultanan Pasai mengalami lebih kurang 300 tahun masa jaya hingga kedatangan penjelajah dari Eropa yang menundukkan kesultanan itu hingga hampir tak bersisa. Sedikit saja dari jejak sejarah kebesaran Kesultanan Pasai yang masih kita jumpai saat ini.
Situs sejarah Samudera Pasai yang paling menonjol adalah kompleks makam Sultan Malikussaleh dan Makam Sultanah Nahrasiyah yang berlokasi di pesisir kecamatan Samudera sekarang.
Pada masa lalu seringkali artefak sejarah berupa koin uang emas ditemukan terpendam berserakan di tanah pada bekas pertapakan ibukota Kesultanan Pasai masa lampau, namun kini penemuan ini sudah jarang terjadi.
Ketika Belanda menginvasi Aceh dan berhasil menegakkan pemerintahan kolonial pada 1904, Aceh Utara ditetapkan sebagai sebuah (Kabupaten) Afdeeling yang dipimpin oleh Asisten Residen. Wilayah yang luas ini dinamakan sebagai Afdeeling Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara).
Afdeeling ini dibagi dalam 3 onderafdeeling (Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu :
- Onder Afdeeling Bireuen,
- Onder Afdeeling Lhokseumawe
- Onder Afdeeling Lhoksukon.
Disamping itu pemerintah Hindia Belanda juga menetapkan beberapa Daerah Kekuasaan Ulee Balang yang memiliki pemerintahan sendiri terhadap daerah dan rakyatnya.
Daerah ini dinamakan sebagai Zelf Bestuur yaitu Selain Onder Afdeeling tersebut di Aceh Utara juga terdapat beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang berhak memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Ulee Balang Keureutoe, Geureugok, Jeumpa, dan Peusangan masing-masing Zelf Bestuur ini dipimpin oleh Ampon Chik.
Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh Ulasan pasang surut, mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kedatangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 Bayern 10 tahun kemudian Samudera Pasai turut diduduki, hingga masa penjajahan Belanda.
Secara umum, Belanda pada tahun 1904, yaitu iseng-iseng belaka di Aceh, Glee di Batee Iliek di Samalanga. Dengan surat keputusan Vander Geuvemement Jenderal Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Daerah Aceh atas 6 (enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin sebagai Penduduk Asisten, salah satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah termasuk Kabupaten Pidie ( Monografi Aceh Utara tahun 1986, BPS dan BAPPEDA Aceh Utara ).
Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa Daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya yaitu Wee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa, dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik.
Pada masa pendudukan Jepang disebut Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur Disebut Sun, Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi. Sesudah Indonesia diproklamirkan sebagai Negara Merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949.
Melalui Konfrensi Meja Bundar, pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur. Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak mencerminkan pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik Indonesia Serikat kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan selanjutnya Undang-Undang 1950 menjadi negara bagian dan statusnya berubah menjadi propinsi.
Aceh yang pada saat itu bukan negara bagian, Propinsi Sumatera Utara. Dengan Undang Undang Darurat Nomor 7 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom setingkat Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, terbentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara yang juga termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara.
Keberadaan Aceh di bawah Propinsi Sumatera Utara memungkinkan rasa tidak puas pada para tokoh Aceh yang membutuhkan agar Aceh tetap menjadi provinsi dan tidak di bawah Sumatera Utara. Gagasan ini tidak didukung oleh sebagian masyarakat Aceh terutama yang berada di luar Aceh.
Keadaan ini memicu pembentukan tokoh-tokoh Aceh dan perkembangan pemberontakan DIMI pada tahun 1953. Pemberontakan ini baru dilakukan dengan Wakil Perdana Menteri Bapak Hardi ke Aceh yang dikenal dengan Missi Hardi dan kemudian menghasilkan Daerah Istimewa Aceh.
Dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I / Missi / 1957, lahirlah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk ke dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959.
Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) Kewedanaan yaitu:
1. Kewedanaan Bireuen Terdiri atas 7 kecamatan
2. Kewedanan Lhokseumawe Terdiri atas 8 Kecamatan
3. Kewedanaan Lhoksukon Terdiri atas 8 kecamatan
Dua tahun kemudian keluar Undang Undang Nomor 18 tahun 1959 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU wilayah kewedanaan pemotongankan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten Daerah Tingkat II.
Dengan surat keputusan Gubemur Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 07 / SK / 11 / Des / 1969 tanggal 6 Juni 1969, wilayah bekas kewedanaan Bireuen ditetapkan menjadi daerah wakil Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala perwakilan yang kini sudah menjadi kabupaten Bireun.
Dengan berkembangnya Kabupaten Aceh Utara yang semakin pesat, pada tahun 1986 dibentuklah Kotif (Kota Administratif) Lhokseumawe dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1986 yang membawahi 5 kecamatan.
Dan berdasarkan Kep Mendagri Nomor 136.21-526 tanggal 24 Juni 1988 tentang pendirian wilayah kerja pembantu Bupati Pidie dan Pembantu Bupati Aceh Utara dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, maka terbentuklah Bupati Pembantu Bupati Aceh Utara di Lhoksukon, pada saat ini Kabupaten Aceh Utara terdiri dari 2 Pembantu Bupati, 1 administrasi kota, 26 kecamatan kecamatan yaitu 23 kecamatan yang sudah ada ditambah dengan 3 kecamatan pemekaran baru.
Sebagai penjabaran dari UU nomor 5 tahun 1974 pasal 11 yang disebutkan dengan titik berat otonomi daerah pada tingkat II lalu pernerintah untuk proyek otonomi daerah. Aceh Utara ditunjuk sebagai daerah tingkat II percontohan otonomi daerah.
Pada tahun 1999 Kabupaten Aceh Utara yang terdiri dari 26 Kecamatan dimekarkan lagi menjadi 30 kecamatan dengan membawahi empat kecamatan baru berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999.
Berkeinginan dengan pemekaran kecamatan baru tersebut, Aceh Utara harus merelakan sepertiga sepertiga wilayahnya untuk menjadi kabupaten baru, yaitu Kabuparten Bireuen berdasarkan Undang Undang nomor 48 tahun 1999. Wilayahnya meliputi bekas wilayah Pembantu Bupati di Bireuen.
Kemudian pada Oktober 2001, tiga kecamatan dalam wilayah Aceh Utara, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat digunakan Kota Lhokseumawe. Saat ini Kabupaten Aceh Utara dengan luas wilayah sebesar 3.296,86 Km2 dan berpenduduk sebanyak 541.878 jiwa dalam 27 kecamatan.
0 Response to "Sejarah Awal Mula Kabupaten Aceh Utara Provinsi Aceh"
Post a Comment