Sejarah Awal Mula Terbentuknya Kerajaan Sunda Jawa Barat
Monday, August 5, 2019
Add Comment
Kerajaan Sunda atau Kerajaan Pasundan adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah sekarang).
Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatera. Kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha, kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.
Awal Mula Berdirinya Kerajaan Sunda
Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu Kuno dengan tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya". Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya. Sementara dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to kemudian dirujuk kepada Sunda.
Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis, menyebutkan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka).
Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta.
Dari Ganggasari, dia memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri.
Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadaneberdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini.
Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Dia dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum(Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sunda
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta HinduSunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Kerajaan Sunda yang berikbukota di Pajajaranjuga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatera. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Penyebaran Agama Islam
Islam mulai masuk ke wilayah Tatar Pasundan pada abad ke-7 Masehi. Namun penyebarannya secara signifikan baru dimulai pada abad ke-13 Masehi.
Pada tahun 1416, Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, juga dikenal sebagai Syekh Quro yang berasal dari Champa.
Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang, salah-satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja yang menganut Islam.
Persekutuan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayundari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara.
Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan).
Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.
Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.
Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).
Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).
Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguhdari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi (1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175).
Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tetapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333).
Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya—Niskalawastukancana—masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda).
Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.
Raja-raja Kerajaan Sunda dan Galuh
Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa.
Prasasti ini terdiri dari 40 baris yang ditulis dalam Aksara Kawi pada 4 buah batu, ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nesional dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama berisi tulisan sebagai berikut[10]:
“Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.”
Prasasti lain yang menyebut raja Sunda adalah Prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor. Berdasarkan Prasasti Batutulisberangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran.
Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno. Prasati ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:
“Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".
Sayang sekali tidak/belum ditemukan prasasti-prasasti lainnya yang menyebutkan nama-nama raja Sunda setelah masa raja terakhir Tarumanagara sampai masa Sri Jayabupati dan antara masa Sri Jayabupati dan Rahiyang Niskala Watu Kancana. Namun nama-nama raja Sunda lainnya hanya ditemukan pada naskah-naskah kuno.
Naskah kuno Fragmen Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional Kropak 406) menyebutkan silsilah raja-raja Sunda mulai dari Tarusbawa, penerus raja terakhir Tarumanagara, dengan penerusnya mulai dari Maharaja Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhirnya kepada Rakean Darmasiksa.
Naskah kuno Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional) menyebutkan silsilah raja setelah masa Tarumanagara. Yang pertama disebutkan adalah Tohaan di Sunda (Tarusbawa). Berikutnya disebutkan nama-nama raja penerusnya seperti Sanjaya, Prabu Maharaja Lingga Buana, raja Sunda yang gugur dikhianati di Bubat (Jawa Timur) yang merupakan ayahnya Rahiyang Niskala Wastu Kancana, sampai Surawisesa.
Sedangkan nama-nama raja penerus Surawisesa yang berperang dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dapat ditemukan dalam sejarah Banten.
Tahun-tahun masa pemerintaha para raja Sunda secara lebh terperinci dapat ditemukan pada naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatera. Kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha, kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.
Awal Mula Berdirinya Kerajaan Sunda
Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu Kuno dengan tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya". Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya. Sementara dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to kemudian dirujuk kepada Sunda.
Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis, menyebutkan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka).
Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta.
Dari Ganggasari, dia memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri.
Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadaneberdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini.
Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Dia dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum(Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sunda
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta HinduSunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Kerajaan Sunda yang berikbukota di Pajajaranjuga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatera. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Penyebaran Agama Islam
Islam mulai masuk ke wilayah Tatar Pasundan pada abad ke-7 Masehi. Namun penyebarannya secara signifikan baru dimulai pada abad ke-13 Masehi.
Pada tahun 1416, Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, juga dikenal sebagai Syekh Quro yang berasal dari Champa.
Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang, salah-satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja yang menganut Islam.
Persekutuan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayundari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara.
Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan).
Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.
Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.
Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).
Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).
Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguhdari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi (1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175).
Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tetapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333).
Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya—Niskalawastukancana—masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda).
Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.
Raja-raja Kerajaan Sunda dan Galuh
Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa.
Prasasti ini terdiri dari 40 baris yang ditulis dalam Aksara Kawi pada 4 buah batu, ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nesional dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama berisi tulisan sebagai berikut[10]:
“Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.”
Prasasti lain yang menyebut raja Sunda adalah Prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor. Berdasarkan Prasasti Batutulisberangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran.
Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno. Prasati ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:
“Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".
Sayang sekali tidak/belum ditemukan prasasti-prasasti lainnya yang menyebutkan nama-nama raja Sunda setelah masa raja terakhir Tarumanagara sampai masa Sri Jayabupati dan antara masa Sri Jayabupati dan Rahiyang Niskala Watu Kancana. Namun nama-nama raja Sunda lainnya hanya ditemukan pada naskah-naskah kuno.
Naskah kuno Fragmen Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional Kropak 406) menyebutkan silsilah raja-raja Sunda mulai dari Tarusbawa, penerus raja terakhir Tarumanagara, dengan penerusnya mulai dari Maharaja Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhirnya kepada Rakean Darmasiksa.
Naskah kuno Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional) menyebutkan silsilah raja setelah masa Tarumanagara. Yang pertama disebutkan adalah Tohaan di Sunda (Tarusbawa). Berikutnya disebutkan nama-nama raja penerusnya seperti Sanjaya, Prabu Maharaja Lingga Buana, raja Sunda yang gugur dikhianati di Bubat (Jawa Timur) yang merupakan ayahnya Rahiyang Niskala Wastu Kancana, sampai Surawisesa.
Sedangkan nama-nama raja penerus Surawisesa yang berperang dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dapat ditemukan dalam sejarah Banten.
Tahun-tahun masa pemerintaha para raja Sunda secara lebh terperinci dapat ditemukan pada naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
- Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
- Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
- Tamperan Barmawijaya (732 - 739)Rakeyan Banga (739 - 766)
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
- Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
- Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
- Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
- Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
- Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
- Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
- Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
- Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
- Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
- Munding Ganawirya (964 - 973)
- Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
- Brajawisésa (989 - 1012)
- Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
- Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
- Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
- Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
- Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
- Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
- Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
- Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
- Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
- Prabu Linggadéwata (1311-1333)
- Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
- Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)P
- rabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
- Prabu Bunisora, Adik Linggabuanawisesa (1357-1371)
- Prabu Niskala Wastu Kancana putra Linggabuanawisesa (1371-1475)
- Prabu Susuktunggal (1475-1482) sebagai Raja Sunda saja, karena sepeninggal Prabu Niskala Wastu Kancana kerajaan dipecah dua di antara Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.
- Jayadéwata Sri Baduga Maharaja putra Dewa Niskala, 1482-1521)
- Prabu Surawisésa (1521-1535)
- Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
- Prabu Sakti (1543-1551)
- Prabu Nilakéndra (1551-1567)
- Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579).
0 Response to "Sejarah Awal Mula Terbentuknya Kerajaan Sunda Jawa Barat"
Post a Comment