Sejarah Asal Usul Kesultanan Samudra Pasai
Monday, August 5, 2019
Add Comment
Makam Raja Kanayan ditemukan di Desa Meunasah Ujoung Blang Me, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa Raja Kanayan wafat pada hari Jum‘at, tanggal 3 Sya‘ban 872 H atau 1468 Masehi. Dengan demikian, Raja Kanayan telah hidup pada masa pemerintahan beberapa rezim Kesultanan Samudera Pasai dan meninggal dunia pada masa Sultan Zainal Abidin.
Selain makam Raja Kanayan, ditemukan pula beberapa makam lainnya. Bahkan, tim peneliti memprediksi masih ada nisan-nisan lain yang amblas ke dalam tanah di kompleks makam yang terletak tidak jauh dari tepi Sungai Pasai sebelah timur itu. Makam-makam yang baru ditemukan tersebut belum tercatat dalam inventaris situs sejarah Dinas Kebudayaan.
Terakhir, pada Agustus 2009, Lembaga Penelitian Sejarah Islam (LePSI) Lhokseumawe mengungkapkan bahwa mereka sedang mengkaji naskah surat Sultan Zainal Abidin, wafat tahun 923 Hijriah atau 1518 Masehi. Surat itu ditujukan kepada Kapitan Moran yang bertindak atas nama wakil Raja Portugis di India. Fotografi naskah tersebut dapat disaksikan di Museum Negeri Aceh, sementara naskah aslinya tersimpan di Lisabon, Portugal.
Naskah tersebut memberikan banyak informasi sejarah tentang ihwal Samudera Pasai di awal abad ke-16, terutama menyangkut kondisi terakhir yang dialami kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara ini, setelah Portugis berhasil menguasai Malaka pada 1511 Masehi.
Naskah surat berbahasa Arab itu juga mencantumkan nama beberapa negeri atau kerajaan yang punya hubungan erat dengan Samudera Pasai sehingga dapat diketahui pengejaan asli dari nama-nama negeri atau kerajaan tersebut, antara lain Nergeri Fariyaman (Pariaman) dan Mulaqat (Malaka).
Berikut nama-nama sultan/sultanah yang diketahui pernah memimpin Kesultanan Samudera Pasai:
Sultan Malik Al Salih memimpin Kesultanan Samudera, sementara putranya, Sultan Muhammad Malikul Zahir adalah penguasa Kesultanan Pasai. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir wafat, pemerintahan Kesultanan Pasai dipegang oleh Sultan Malik Al Salih untuk sementara sembari menunggu kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir, yakni Malikul Mahmud dan Malikul Mansur, beranjak dewasa. Setelah kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir tersebut dinilai mampu untuk menjadi pemimpin, Sultan Malik Al Salih mengundurkan diri dari sebagai sultan dari kedua kerajaan yang dipimpinnya tersebut.
Selanjutnya, Sultan Malik Al Salih menyerahkan kendali pemerintahan kepada kedua cucunya tersebut, masing-masing Kesultanan Pasai kepada Malikul Mahmud serta Kesultanan Samudera kepada Malikul Mansur. Masa periode pemerintahan ketiga sultan, yaitu Sultan Muhammad Malikul Zahir, Sultan Malikul Mahmud, dan Sultan Malikul Mansur, sengaja tidak disebutkan karena masih terdapat beberapa kejanggalan mengenai hal tersebut, termasuk yang tercatat dalam Hikayat Raja Pasai.
Kesimpang-siuran mengenai periode pemerintahan masing-masing sultan/sultanah menjadi kendala tersendiri, dan karena itulah kurun tahun yang dicantumkan dalam daftar di atas merupakan interpretasi dari beberapa informasi yang berhasil ditemukan. Demikian pula dengan penyebutan nama atau gelar dari masing-masing sultan/sultanah yang ternyata ditemukan banyak sekali versinya.
Selain itu, ketidaklengkapan informasi mengenai siapa saja sultan/sultanah yang pernah memerintah Kesultanan Samudera Pasai secara urut dan runtut juga menimbulkan permasalahan lain karena belum tentu apa yang ditulis dalam silsilah di atas mencatat semua penguasa yang pernah bertahta di Kesultanan Samudera Pasai.
Pada kurun abad ke-14, nama Kesultanan Samudera Pasai sudah sangat terkenal dan berpengaruh serta memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Armada perang yang kuat sangat mendukung Kesultanan Samudera Pasai untuk semakin melebarkan sayap kekuasaannya, baik dengan tujuan menguasai dan menduduki wilayah kerajaan lain ataupun demi mengemban misi menyebarkan agama Islam.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai pada masa kejayaannya terletak di daerah yang diapit oleh dua sungai besar di Pantai Utara Aceh, yaitu Sungai Peusangan dan Sungai Pasai. Daerah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai tersebut juga meliputi Samudera Geudong (Aceh Utara), Meulaboh, Bireuen, serta Rimba Jreum dan Seumerlang (Perlak).
Sementara itu, ada pula yang menganut pendapat bahwa wilayah Kesultanan Samudera Pasai meliputi wilayah yang lebih luas lagi ke sebelah selatan, yaitu hingga ke muara Sungai Jambu Ayer (Ismail, 1997:7). Yang jelas, luas wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai melingkupi sepanjang aliran sungai yang hulu-hulunya berasal jauh di pedalaman Dataran Tinggi Gayo, sekarang berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam.
Kesultanan Samudera Pasai juga berhasil meluaskan wilayahnya ke luar dari bumi Aceh. Beberapa daerah luar yang menjadi negeri taklukan Kesultanan Samudera Pasai antara lain Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, bahkan hingga mencapai beberapa kerajaan di pesisir pantai di Jawa.
Komposisi masyarakat yang menjadi warga Kesultanan Samudera Pasai menunjukkan sifat yang berlapis-lapis. Menurut Ayatrohaedi, lapisan itu terdiri atas Sultan dan Orang-Orang Besar kerajaan pada lapisan atas sampai dengan hamba sahaya pada lapisan yang paling bawah (Ayatrohaedi, 1992). Pada lapisan kelompok birokrasi terlihat adanya kelompok Orang-Orang Besar, perdana menteri, menteri, tentara, pegawai, dan kaum bangsawan kerajaan yang lainnya.
Adanya orang-orang yang bergerak dalam perdagangan, misalnya orang-orang yang berniaga, orang berlayar, orang pekan, nahkoda, dan lain-lainnya. Kendati jumlah populasi orang-orang Arab yang berdiam di Pasai tidak sebanyak orang-orang dari India, namun kalangan orang Arab sangat berpengaruh dalam jalannya pemerintahan kerajaan, bahkan atas kebijakan Sultan Pasai sekalipun. Keadaan ini terlihat sejak masa awal terbentuknya Kesultanan Pasai dan berlangsung lama hingga nama kerajaan ini berubah menjadi Kesultanan Samudera Pasai.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih sebagai penguasa pertama di Kesultanan Pasai, terdapat sejumlah Orang-Orang Besar di negeri itu, antara lain Tun Sri Kaya dan Tun Baba Kaya. Nama-nama itu jelas menunjukkan kedudukan mereka yang dinamakan Orang-Orang Besar tersebut. Hal ini sesuai dengan penyebutan Orang-Orang Besar kerajaan di Semenanjung Melayu dan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai Orang Kaya.
Kedua Orang Besar yang ikut mengontrol jalannya pemerintahan di Kesultanan Pasai itu masing-masing kemudian diberi gelar Sayid Ali Ghitauddin dan Sayid Asmayuddin, seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada bagian keislaman Marah Silu atau Sultan Malik Al Salih.
Dalam hikayat digambarkan dengan jelas bahwa Orang-Orang Besar itu disebutkan sebagai perdana menteri, satu untuk Kesultanan Pasai dan seorang lagi untuk Kesultanan Samudera. Kedudukan mereka yang sangat penting di sana berlangsung sejak rezim Sultan Malik Al Salih sampai era pemerintahan cucunya yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur.
Di masa kedua cucu Sultan Malik Al Salih itu berkuasa di masing-masing kerajaannya, terjadi sengketa di antara keduanya, yakni ketika Malikul Mansur melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap salah seorang istri Malikul Mahmud.
Mengetahui perbuatan hina saudaranya itu, Sultan Malikul Mahmud sempat berucap bahwa sekiranya ia tidak menghormati Sayid Asmayuddin, yang menjadi penasehat Sultan Malikul Mansur di Kesultanan Samudera, niscaya Sultan Malikul Mahmud sudah membunuh saudaranya sendiri atas perbuatan hina yang tidak termaafkan.
Fragmen ini sudah cukup membuktikan bahwa betapa kuatnya pengaruh Orang-Orang Besar tersebut dalam ikut mengendalikan roda pemerintahan kerajaan, bahkan sampai pada tingkat mempengaruhi kondisi personal dan psikis Sultan.
Pada era kepemimpinan yang berikutnya, yakni di bawah rezim Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346-1383), pemerintahan Kesultanan Samudera Pasai dikawal oleh empat orang perdana menteri, yang masing-masing bernama Tulus Agung Tukang Sukara, Baba Mentuha, Sulaiman Dendang Air, dan Tun Syah Alam Kota.
Masih sama seperti pada masa-masa sebelumnya, keempat perdana menteri tersebut menjalankan fungsinya sebagai penasehat Sultan dan ikut mempengaruhi kebijakan kerajaan kendati keputusan akhir masih tetap berada di tangan Sultan Samudera Pasai. Kehidupan sosial dan politik warga Kesultanan Samudera Pasai sangat diwarnai oleh unsur agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahannya bersifat teokrasi (berdasarkan ajaran Islam) dan sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.
Selain makam Raja Kanayan, ditemukan pula beberapa makam lainnya. Bahkan, tim peneliti memprediksi masih ada nisan-nisan lain yang amblas ke dalam tanah di kompleks makam yang terletak tidak jauh dari tepi Sungai Pasai sebelah timur itu. Makam-makam yang baru ditemukan tersebut belum tercatat dalam inventaris situs sejarah Dinas Kebudayaan.
Terakhir, pada Agustus 2009, Lembaga Penelitian Sejarah Islam (LePSI) Lhokseumawe mengungkapkan bahwa mereka sedang mengkaji naskah surat Sultan Zainal Abidin, wafat tahun 923 Hijriah atau 1518 Masehi. Surat itu ditujukan kepada Kapitan Moran yang bertindak atas nama wakil Raja Portugis di India. Fotografi naskah tersebut dapat disaksikan di Museum Negeri Aceh, sementara naskah aslinya tersimpan di Lisabon, Portugal.
Naskah tersebut memberikan banyak informasi sejarah tentang ihwal Samudera Pasai di awal abad ke-16, terutama menyangkut kondisi terakhir yang dialami kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara ini, setelah Portugis berhasil menguasai Malaka pada 1511 Masehi.
Naskah surat berbahasa Arab itu juga mencantumkan nama beberapa negeri atau kerajaan yang punya hubungan erat dengan Samudera Pasai sehingga dapat diketahui pengejaan asli dari nama-nama negeri atau kerajaan tersebut, antara lain Nergeri Fariyaman (Pariaman) dan Mulaqat (Malaka).
Silsilah Raja-Raja Samudra Pasai
Berikut nama-nama sultan/sultanah yang diketahui pernah memimpin Kesultanan Samudera Pasai:
- Sultan Malik Al-Salih (1267—1297)
- Sultan Muhammad Malikul Zahir
- Sultan Malikul Mahmud
- Sultan Malikul Mansur
- Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346—1383)
- Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir (1383—1405)
- Sultanah Nahrasiyah atau Sultanah Nahrisyyah (1420—1428)
- Sultan Sallah Ad-Din (1402)
- Sultan Abu Zaid Malik Az-Zahir 1455)
- Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1455—1477)
- Sultan Zain Al-Abidin (1477—1500)
- Sultan Abdullah Malik Az-Zahir (1501—1513)
- Sultan Zain Al-Abidin (1513—1524)
Sultan Malik Al Salih memimpin Kesultanan Samudera, sementara putranya, Sultan Muhammad Malikul Zahir adalah penguasa Kesultanan Pasai. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir wafat, pemerintahan Kesultanan Pasai dipegang oleh Sultan Malik Al Salih untuk sementara sembari menunggu kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir, yakni Malikul Mahmud dan Malikul Mansur, beranjak dewasa. Setelah kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir tersebut dinilai mampu untuk menjadi pemimpin, Sultan Malik Al Salih mengundurkan diri dari sebagai sultan dari kedua kerajaan yang dipimpinnya tersebut.
Selanjutnya, Sultan Malik Al Salih menyerahkan kendali pemerintahan kepada kedua cucunya tersebut, masing-masing Kesultanan Pasai kepada Malikul Mahmud serta Kesultanan Samudera kepada Malikul Mansur. Masa periode pemerintahan ketiga sultan, yaitu Sultan Muhammad Malikul Zahir, Sultan Malikul Mahmud, dan Sultan Malikul Mansur, sengaja tidak disebutkan karena masih terdapat beberapa kejanggalan mengenai hal tersebut, termasuk yang tercatat dalam Hikayat Raja Pasai.
Kesimpang-siuran mengenai periode pemerintahan masing-masing sultan/sultanah menjadi kendala tersendiri, dan karena itulah kurun tahun yang dicantumkan dalam daftar di atas merupakan interpretasi dari beberapa informasi yang berhasil ditemukan. Demikian pula dengan penyebutan nama atau gelar dari masing-masing sultan/sultanah yang ternyata ditemukan banyak sekali versinya.
Selain itu, ketidaklengkapan informasi mengenai siapa saja sultan/sultanah yang pernah memerintah Kesultanan Samudera Pasai secara urut dan runtut juga menimbulkan permasalahan lain karena belum tentu apa yang ditulis dalam silsilah di atas mencatat semua penguasa yang pernah bertahta di Kesultanan Samudera Pasai.
Wilayah Kekuasaan Samudera Pasai
Pada kurun abad ke-14, nama Kesultanan Samudera Pasai sudah sangat terkenal dan berpengaruh serta memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Armada perang yang kuat sangat mendukung Kesultanan Samudera Pasai untuk semakin melebarkan sayap kekuasaannya, baik dengan tujuan menguasai dan menduduki wilayah kerajaan lain ataupun demi mengemban misi menyebarkan agama Islam.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai pada masa kejayaannya terletak di daerah yang diapit oleh dua sungai besar di Pantai Utara Aceh, yaitu Sungai Peusangan dan Sungai Pasai. Daerah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai tersebut juga meliputi Samudera Geudong (Aceh Utara), Meulaboh, Bireuen, serta Rimba Jreum dan Seumerlang (Perlak).
Sementara itu, ada pula yang menganut pendapat bahwa wilayah Kesultanan Samudera Pasai meliputi wilayah yang lebih luas lagi ke sebelah selatan, yaitu hingga ke muara Sungai Jambu Ayer (Ismail, 1997:7). Yang jelas, luas wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai melingkupi sepanjang aliran sungai yang hulu-hulunya berasal jauh di pedalaman Dataran Tinggi Gayo, sekarang berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam.
Kesultanan Samudera Pasai juga berhasil meluaskan wilayahnya ke luar dari bumi Aceh. Beberapa daerah luar yang menjadi negeri taklukan Kesultanan Samudera Pasai antara lain Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, bahkan hingga mencapai beberapa kerajaan di pesisir pantai di Jawa.
Sistem Pemerintahan Samudera Pasai
Komposisi masyarakat yang menjadi warga Kesultanan Samudera Pasai menunjukkan sifat yang berlapis-lapis. Menurut Ayatrohaedi, lapisan itu terdiri atas Sultan dan Orang-Orang Besar kerajaan pada lapisan atas sampai dengan hamba sahaya pada lapisan yang paling bawah (Ayatrohaedi, 1992). Pada lapisan kelompok birokrasi terlihat adanya kelompok Orang-Orang Besar, perdana menteri, menteri, tentara, pegawai, dan kaum bangsawan kerajaan yang lainnya.
Adanya orang-orang yang bergerak dalam perdagangan, misalnya orang-orang yang berniaga, orang berlayar, orang pekan, nahkoda, dan lain-lainnya. Kendati jumlah populasi orang-orang Arab yang berdiam di Pasai tidak sebanyak orang-orang dari India, namun kalangan orang Arab sangat berpengaruh dalam jalannya pemerintahan kerajaan, bahkan atas kebijakan Sultan Pasai sekalipun. Keadaan ini terlihat sejak masa awal terbentuknya Kesultanan Pasai dan berlangsung lama hingga nama kerajaan ini berubah menjadi Kesultanan Samudera Pasai.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih sebagai penguasa pertama di Kesultanan Pasai, terdapat sejumlah Orang-Orang Besar di negeri itu, antara lain Tun Sri Kaya dan Tun Baba Kaya. Nama-nama itu jelas menunjukkan kedudukan mereka yang dinamakan Orang-Orang Besar tersebut. Hal ini sesuai dengan penyebutan Orang-Orang Besar kerajaan di Semenanjung Melayu dan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai Orang Kaya.
Kedua Orang Besar yang ikut mengontrol jalannya pemerintahan di Kesultanan Pasai itu masing-masing kemudian diberi gelar Sayid Ali Ghitauddin dan Sayid Asmayuddin, seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada bagian keislaman Marah Silu atau Sultan Malik Al Salih.
Dalam hikayat digambarkan dengan jelas bahwa Orang-Orang Besar itu disebutkan sebagai perdana menteri, satu untuk Kesultanan Pasai dan seorang lagi untuk Kesultanan Samudera. Kedudukan mereka yang sangat penting di sana berlangsung sejak rezim Sultan Malik Al Salih sampai era pemerintahan cucunya yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur.
Di masa kedua cucu Sultan Malik Al Salih itu berkuasa di masing-masing kerajaannya, terjadi sengketa di antara keduanya, yakni ketika Malikul Mansur melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap salah seorang istri Malikul Mahmud.
Mengetahui perbuatan hina saudaranya itu, Sultan Malikul Mahmud sempat berucap bahwa sekiranya ia tidak menghormati Sayid Asmayuddin, yang menjadi penasehat Sultan Malikul Mansur di Kesultanan Samudera, niscaya Sultan Malikul Mahmud sudah membunuh saudaranya sendiri atas perbuatan hina yang tidak termaafkan.
Fragmen ini sudah cukup membuktikan bahwa betapa kuatnya pengaruh Orang-Orang Besar tersebut dalam ikut mengendalikan roda pemerintahan kerajaan, bahkan sampai pada tingkat mempengaruhi kondisi personal dan psikis Sultan.
Pada era kepemimpinan yang berikutnya, yakni di bawah rezim Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346-1383), pemerintahan Kesultanan Samudera Pasai dikawal oleh empat orang perdana menteri, yang masing-masing bernama Tulus Agung Tukang Sukara, Baba Mentuha, Sulaiman Dendang Air, dan Tun Syah Alam Kota.
Masih sama seperti pada masa-masa sebelumnya, keempat perdana menteri tersebut menjalankan fungsinya sebagai penasehat Sultan dan ikut mempengaruhi kebijakan kerajaan kendati keputusan akhir masih tetap berada di tangan Sultan Samudera Pasai. Kehidupan sosial dan politik warga Kesultanan Samudera Pasai sangat diwarnai oleh unsur agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahannya bersifat teokrasi (berdasarkan ajaran Islam) dan sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.
0 Response to "Sejarah Asal Usul Kesultanan Samudra Pasai"
Post a Comment