Sejarah Kerajaan Dharmasraya Sumatera

Dharmasraya yang kini menjadi kabupaten ternyata dulunya nama kerajaan yang berkembang di abad ke-11. Kerajaan ini berpusat di Siguntur, daerah tepian Sungai Batanghari yang merupakan babak penting perkembangan kerajaan Pagaruyung. Bahkan hingga kini raja-raja di Dharmasraya masih menggunakan gelar kerajaan dan memegang tradisi leluhurnya.

Peninggalan peradaban Hindu-Budha di kawasan Siguntur dan juga peninggalan kebudayaan Islam yang sampai sekarang masih memiliki raja-raja dengan tugas dan wilayah tersendiri, sesuai aturan turun temurun. Menurut, ahli waris Kerajaan Dharmasraya Putri Marhasnida, di Dharmasraya terdapat lima raja yang masih memegang gelar kerajaannya dan masing-masing raja memegang peranan dalam melaksanakan tugas.

Di antara raja-raja yang pernah berkuasa yakni Raja Alam, berkuasa di Kerajaan Siguntur dengan gelar Tuanku Bagindo Ratu, Raja Adat di Kerajaan Sitiung dengan gelar Tuanku Rajo Hitam, Rajo Ibadat di Kerajaan Padang Laweh bergelar Tuanku Bagindo Muhammad, Raja Cermin Taruih di Kerajaan Pulau Punjung gelar Tuanku Sati. Sedangkan di Koto Besar bergelar Sri Sultan Rajo Maharajo.

ASAL USUL KERAJAAN DHARMASRAYA

Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi adalah kerajaan yang terletak di Sumatra, berdiri sekitar abad ke-11 Masehi. Lokasinya terletak di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat sekarang, dan di utara Jambi.

Hanya ada sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Diantaranya yang cukup terkenal adalah rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) yang menikah dengan Puti Reno Mandi. Sang raja dan permaisuri memiliki dua putri, yaitu Dara Jingga dan Dara Petak.

Setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh di tahun 1025 karena serangan Kerajaan Chola dari India, banyak bangsawan Sriwijaya yang melarikan diri ke pedalaman, terutama ke hulu sungai Batang Hari. Mereka kemudian bergabung dengan Kerajaan Melayu Tua yang sudah lebih dulu ada di daerah tersebut, dan sebelumnya merupakan daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi menaklukan Sriwijaya. Situasi jadi berbalik di mana daerah taklukannya adalah Kerajaan Sriwijaya.

Di tahun 1288, Kerajaan Dharmasraya, termasuk Kerajaan Sriwijaya, menjadi taklukan Kerajaan Singhasari di era Raja Kertanegara, dengan mengirimkan Adwaya Brahman dan Senopati Mahesa Anabrang, dalam ekspedisi Pamalayu 1 dan 2. Sebagai tanda persahabatan, Dara Jingga menikah dengan Adwaya Brahman dari Kerajaan Singasari tersebut. Mereka memiliki putra yang bernama Adityawarman, yang di kemudian hari mendirikan Kerajaan Pagaruyung, dan sekaligus menjadi penerus kakeknya, Mauliwarmadhewa sebagai penguasa Kerajaan Dharmasraya berikut jajahannya, termasuk eks Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Anak dari Adityawarman, yaitu Ananggawarman, menjadi penguasa Palembang di kemudian hari. Sedangkan Dara Jingga dikenal sebagai Bundo Kandung/Bundo Kanduang oleh masyarakat Minangkabau.

Di tahun 1293, Mahesa Anabrang beserta Dara Jingga dan anaknya, Adityawarman, kembali ke Pulau Jawa. Dara Petak ikut dalam rombongan tersebut. Setelah tiba di Pulau Jawa ternyata Kerajaan Singasari telah musnah, dan sebagai penerusnya adalah Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu Dara Petak dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian memberikan keturunan Raden Kalagemet yang bergelar Sri Jayanegara setelah menjadi Raja Majapahit kedua.

Dalam catatan sejarah, wilayah sepanjang DAS Batanghari di pedalaman dikuasai kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memerintah hampir bersamaan. Kerajaan Melayu dianggap penting masa itu karena eksistensinya diakui oleh beberapa kerajaan termasuk Majapahit. Di dalam naskah kuno Nagarakartagama pupuh XIII:1 dan 2 disebutkan, Dharmasraaya sebagai salah satu kawasan Majapahit. Pada masa raja Kertanegara pusat pemerintahan kerajaan Melayu sudah berada di Dharmasraya dan lokasinya di bagian hulu Batanghari tepatnya di daerah rambahan, Jorong Lubuk Bulang, Nagari IV Koto Pulaupunjung Dharmasraya.

Perubahan pusat pemerintahan ini dapat ditelusuri berdasarkan pada Prasasti Dharmasraya yang dipahatkan pada lapik atau alas kaki Arca Amoghapassa yang sekarang berada di Museum Nasional, Jakarta. Di bagian belakang (punggung) Arca Amoghapasa yang dikirim Kertanegara tercatat tahun 1347 M, raja yang memerintah adalah Sri Maharajadiraja Adityawarman yang menyebut dirinya dengan nama Srimat Sri Udayatityawarman.

Selain itu, dalam catatan sejarah dan naskah Jawa kuno diterangkan Adityawarman merupakan keturunan dari seorang ibu Melayu yang bernama Dara Jingga dengan seorang pejabat kerajaan Singasari bernama Adwayabrahma. Adwayabrahma merupakan pejabat yang dikirim Singasari mengiringi pengiriman Arca Amoghapasa ke Swarnabumi. Mengenai kemunculannya dapat ditemukan dalam Prasasti Kuburajo I yang ditemukan di Lima Kaum, Kabupaten Tanah datar. Sesudah prasasti Amoghapasa 1347 M ini, pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Dharmasraya berpindah kearah pedalaman yaitu daerah Kabupaten Tanah datar dan sekitarnya.

Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola I, telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanaisupaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut raja Swarnabhumi bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasadari Raja Kertanagara, raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibu kota dari negeri bhūmi mālayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.

Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand(Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan. Dari catatan Tiongkok disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi(Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya. Karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

WILAYAH KEKUASAAN DHARMASRAYA

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi karya Zhao Rugua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi(Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailandsekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing(Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an(muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong(Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Acehsekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong(Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatra, sampai Jawa bagian barat.

Dalam naskah-naskah kronik Tiongkok, istilah San-fo-tsi digunakan untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum. Namun pada zaman Dinasti Song sekitar tahun 990–an, istilah ini identik dengan Sriwijaya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Tiongkok, yaitu kedatangan utusan San-fo-tsi ke Tiongkok pada periode 1079 dan 1088.

Dalam berita Tiongkok yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Tiongkokyang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi (Jambi) bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya. Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Tiongkok untuk menyebut Pulau Sumatrasecara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan dari Jawa ke Sumatra yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang. Kemudian pada tahun 1286 Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan Arca Amoghapasa yang kemudian dipahatkan pada Prasasti Padang Roco di Dharmasraya ibu kota bhumi malayu, sebagai hadiah dari Kerajaan Singhasari.

 Tim ini kembali ke Pulau Jawa pada tahun 1293 sekaligus membawa dua orang putri dari Kerajaan Melayu yang bernama Dara Petakdan Dara Jingga. Kemudian Dara Petak dinikahi oleh Raden Wijaya yang telah menjadi raja Majapahit penganti Singhasari, dan pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit.

 Sedangkan Dara Jingga dinikahi oleh sira alaki dewa (orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuan Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman, dan kelak menjadi Tuan Surawasa (Suruaso) berdasarkan Prasasti Batusangkar di pedalaman Minangkabau.

Dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut bhumi melayu sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit. Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus mengantarkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini. Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparajaatau raja bawahan Majapahit, sekaligus melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang.

 Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabananmenyebut nama Arya Damar sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman.

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 masehi atau 1267 saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya dengan nama Malayapura.

Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya, dan memindahkan ibu kotanya dari Dharmasrayake daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso). Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada bangsa Mauli penguasa Dharmasraya, dan gelar Sri Udayadityavarmanpernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Walaupun ibu kota kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman, Dharmasraya tetap dipimpin oleh seorang Maharaja Dharmasraya. Tetapi statusnya berubah menjadi raja bawahan, sebagaimana tersebut pada Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan ditulis pada zaman Adityawarman.

0 Response to "Sejarah Kerajaan Dharmasraya Sumatera"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel