Sejarah Awal Mula Kabupaten Karo Sumatera Utara

Kabupaten Karo adalah salah satu Kabupaten di provinsi Sumatera Utara, Indonesia. ibu kota kabupaten ini terletak di Kabanjahe. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.127,25 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 389.591 jiwa.

ASAL USUL BERDIRINYA KABUPATEN KARO


Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Utara yang dikumandangkan oleh Wakil Gubernur Sumatera Dr. M. Amir pada tanggal 3 Maret 1946, tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja dan kaum feodal pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia.

Akibatnya rakyat tidak merasa puas dan mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dinamika perjuangan kemerdekaan. Sistem yang dikehendaki ialah pemerintah yang demokratis berporos kepada kedaulatan rakyat.

Gerakan itu begitu cepat menjalar ke seluruh pelosok daerah Sumatera Timur. Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan oleh lasykar-lasykar yang tergabung dalam Volks Front. Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah.

Sultan langkat di Tanjung pura pun tertangkap. Demikian juga sultan-sultan lainnya seperti Sultan Kualoh Leidong, Sultan Asahan, dan sultan-sultan lainnya ditangkap walaupun melakukan perlawanan tetapi pasukan-pasukannya dapat dikalahkan oleh lasykar-lasykar rakyat. Pada saat itu di Sumatera Timur ada 21 swapraja atau kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan yang dalam Bahasa Belanda dinamakan Inlands Zelfbestuur (swapraja bumiputera).

Demikian pula sebagai follow up dari revolusi sosial itu, pada tanggal 8 Maret 1946, keadaan pun semakin genting di Tanah Karo. Pemimpin pemerintahan di Tanah Karo Ngerajai Meliala beserta pengikut-pengikutnya ditangkap dan diungsikan ke tanah alas Aceh Tenggara. Menghadapi keadaan yang semakin tidak menentu ini, Panglima Divisi X  Sumatera Timur, memperlakukan keadaan darurat.

Khusus untuk Tanah Karo Panglima mengangkat Mayor M. Kasim, komandan resimen I Devisi X Berastagi menjadi pejabat sementara kepala pemerintahan sebagai pengganti Ngerajai Meliala.

Selanjutnya pada tanggal 13 Maret 1946, Komite Nasional Indonesia Tanah Karo bersama barisan pejuang Tanah Karo, dalam sidangnya berhasil memutuskan antara lain: membentuk pemerintahan Kabupaten Karo dengan melepaskan diri dari keterikatan administrasi kerajaan dan menghapus sistem pemerintahan swapraja pribumi di Tanah Karo dengan sistem pemerintahan demokratis berdasarkan kedaulatan rakyat.

Kemudian Kabupaten Karo diperluas dengan memasukkan daerah Deli Hulu dan daerah Silima Kuta Cingkes dan selanjutnya mengangkat Rakutta Sembiring Brahmana menjadi Bupati Karo, KM  Aritonang sebagai Patih, Ganin Purba sebagai Sekretaris dan Kantor Tarigan sebagai Wakil Sekretaris dan mengangkat para lurah sebagai penganti raja urung yang sudah dihapuskan.

Usul itu disetujui sepenuhnya oleh peserta sidang dan Mr. Luat Siregar mewakili Gubernur Sumatera Utara dan disahkan oleh residen Yunus Nasution yang saat itu ikut di dalam rapat tersebut. Dengan demikian terbentuklah sudah Tanah Karo sebagai suatu daerah dan Rakutta Sembiring ditetapkan sebagai Bupati Kar yang pertama.

Kemudian, setelah pemerintahan Kabupaten Karo terbentuk, di daerah Kabupaten Karo menghadapi banyak persoalan. Penyesuaian kedudukan pejuang dalam pemerintahan, kondisi sosial masyarakat yang buruk dan pembangunan daerah diabaikan oleh pusat serta masalah ketertiban dan keamanan yang sangat mengganggu sehingga otomatis menghambat roda pemerintahan daerah.

Salah satu contohnya, jika beberapa hari sebelumnya oleh KNI diangkat para Lurah sebagai pengganti Raja Urung dengan wilayah kekuasaan pemerintahan yang sama, maka untuk menyesuaikan kebijaksanaan sesuai dengan keputusan Komite Nasional Provinsi tertanggal 18 April 1946, diputuskan bahwa Tanah Karo terdiri dari tiga kewedanan dan tiap kewedanan terdiri dari lima kecamatan.

Kemudian pada bulan September 1974, Residen Sumatera Timur Abubakar Ja’ar mengeluarkan SK Pembentukan Kewedanan Batu Karang dan Tiga Panah, masing-masing dipimpin oleh Hasan Basri dan Matang Sitepu.

Realisasi pembentukan kewedanan Tiga Panah dapat diwujudkan, namun karena kegiatan pasukan Belanda makin gencar menyerang Karo Utara, akhirnya pembentukan kewedanan Batu Karang tidak dapat diwujudkan.

Adapun susunan dan personalia kewedanan Tiga Panah dengan tiga kecamatan adalah Wedana Matang Sitepu kecamatan Tiga Panah dengan camatnya Djamin Karo Sekali, kecamatan Barusjahe dengan camatnya Dapat Sitepu dan kecamatan Cingkes dengan camatnya Babo Sitepu.

Demikianlah Pemerintahan di Kabupaten Karo telah tersusun dengan baik. Walaupun pada mulanya ada masalah rumit tentang kedudukan sibayak sibayak dan Raja-Raja Urung. Namun tidak terjadi hal-hal yang menimbulkan pertumpahan darah, karena sibayak-sibayak itu bersedia dengan rela mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan mereka kepada kepala-kepala pemerintahan  yang baru  yang terpilih secara demokratis.

Agresi II Militer Belanda

Perjanjian Renville yang tidak bertahan lama karena pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi militer II, akibat serangan ini pasukan republik segera bergerylla ke pedalaman Tanah Karo, dan menyerang pos-pos kedudukan musuh serta melucuti senjata mereka. Umumnya para Onderdistricthoofd meninggalkan tempatnya mengungsi mencari tempat aman ke Kabanjahe, Berastagi dan Tiga Binanga.

Setelah itu, untuk menentukan daerah pertempuran bagi masing-masing kesatuan di daerah Gerillya Tanah Karo dan Pemerintahan Militer Kabupaten Karo, maka tanggal 1 April 1949 diadakan perundingan antara Komandan Resimen IV Distrik X Mayor Djamin Ginting dengan komandan Sektor III Sub-Terr VII, Mayor Selamat Ginting di Kotacane.

Dalam perundingan itu kedua belah pihak sepakat membagi daerah operasi pertempuran sebagai berikut: Daerah Operasi Pasukan Resimen IV, mulai dari sebelah kiri jalan raya Tiga Binanga sampai ke Berastagi dan dari Berastagi sampai ke Medan sebelah menyebelah ke jalan raya; daerah operasi pasukan TNI sektor III, mulai dari Kabupaten Dairi terus sebelah kanan jalan raya Lau Baleng Tiga Binanga Tongkoh  termasuk daerah Silima Kuta Cingkes, Simalungun.

Adapun mengenai hal kedua, yaitu perihal pembentukan pemerintahan Pentadbiran militer Kabupaten Karo, baru diputuskan setelah komandan Sub Terr VII Komando Sumatera Letnan Kolonel  A.E. Kawilarang tiba di Kotacane pada tanggal 2 April 1949. Di Kotacane beliau berunding dengan Mayor Djamin Ginting dan dalam kedudukannya selaku Wakil Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Letkol A.E. Kawilarang mengeluarkan surat ketetapan Nomor 62/ist/dl, tanggal 4 April 1949, tentang susunan pemerintahan Pentadbiran Militer Karo.

Dalam surat ketetapan ini ternyata kewedanan Karo Hilir, kewedanan Karo Jahe dan kewedanan Tiga Panah sama sekali tidak disebut atau dicantumkan lagi.

Kewedanan Karo Jahe dibaginya menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Pancur Batu Timur dan kecamatan Pancur Batu Barat. Demikian pula kalau tadinya setelah revolusi social Kabupaten Karo  terdiri dari tiga kewedanan, malah ditambah lagi dengan kewedanan Tiga Panah dengan 15 kecamatan, maka dengan keputusan 4 April 1949 itu, Kabupaten Karo hanya terdiri dari dua kewedanan membawahi 9 kecamatan.

Selanjutnya dengan tercapainya persetujuan Roem Royen, tanggal 7 Mei 1949, yang isinya Belanda setuju memulihkan kedudukan Republik Indonesia ke Jakarta sekaligus mengembalikan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada kedudukannya semula, maka disepakati penghentian tembak antara RI dengan Belanda.

Dengan keluarnya penghentian tembak menembak itu, Kepala Pemerintah Pentadbiran Militer Karo Rakutta Sembiring dan perangkat kantornya segera meninggalkan Kotacane menempati kantor yang baru di Tiganderket, maka daerah Tanah Karo diklaim oleh dua negara yaitu Republik Indonesia dan Negara Sumatera Timur.

Pembentukan Negara Sumatera Timur (NST) tidak disetujui oleh rakyat dan setelah Konferensi Meja Bundar, dimana-mana muncul gerakan-gerakan yagn bertujuan untuk menghapuskan Negara boneka tersebut.

Menjelang akhir Desember 1949, para pemuda mengadakan konferensi dan mengeluarkan mosi agar pemerintah RI dikembalikan ke Sumatera Timur. Kemudian tanggal 21-22 Januari 1950, front Nasional Sumatera Timur mengadakan konferensi dan menghasilkan resolusi yagn menuntut agar NST segera dilebur kedalam Republik Indonesia. Sejak itu, situasi memanas “Aksi Tuntutan Rakyat” muncul dimana-mana termasuk di  Tanah Karo.

Aspirasi mereka akhirnya terpenuhi setelah persoalan Negara-Negara RIS diselesaikan secara nasional yaitu kembali ke pangkuan Negara kesatuan Republik Indonesia dengan UUDS 1950.

Dengan terbentuknya NKRI tanggal 15 Agustus 1950, dualisme pemerintahan di Tanah Karo tidak ada lagi dan Bupati Rakutta Sembiring dan segenap perangkatnya kembali ke kantornya di Kabanjahe.

Dengan demikian setelah terbentuknya NKRI, daerah Karo Jahe (Deli Hulu) dan Silima Kuta (Cingkes) yang sejak revolusi social Maret 1946 masuk dari bagian Kabupaten Karo ‘dipaksa’ berpisah. Deli Hulu yang tadinya menjadi satu kewedanan dimasukkan ke dalam bagian Deli Serdang, sedangkan Kecamatan Silima Kuta dimasukkan kedalam wilayah Kabupaten Simalungun.

SEJARAH SUKU KARO


Suku Karo adalah suku  asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo.

Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo, dan memiliki salam khas, yaitu Mejuah-juah. Sementara pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.Adapun keberadaan Rumah adat suku Karo atau yang dikenal dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga.

Tiap keluarga yang menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-masing. Sejarah Suku Karo Menurut Kol. (Purn) Sempa Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia" menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.

Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan dengan Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa pada awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang terletak sangat jauh di seberang lautan.

Raja tersebut juga mempunyai seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India. Pada suatu ketika, maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau.

Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat sendiri.

Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana. Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk berlayar ke seberang. Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang sangat besar, sehingga mereka tercerai berai.

Mereka sangat ketakutan dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.

Dan tiba di suatu tempat. Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Di pulau itu mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman.

Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua Umang.

Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan. Setelah beberapa hari lamanya mereka berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandarbaru.

Mereka tinggal di situ beberapa bulan lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu.

Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi" (sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu.

Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada. Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang sekarang Seberaya.

Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo (Taneh Karo). Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus.

Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:

- Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya tidak hilang.
- Ginting, anak kedua.
- Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang paling hitam diantara saudaranya.
- Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
- Tarigan, anak bungsu.

0 Response to "Sejarah Awal Mula Kabupaten Karo Sumatera Utara"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel