Sejarah Asal Usul Kota Pontianak Kalimantan Barat
Tuesday, July 30, 2019
Add Comment
Pontianak merupakan kota yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat sekaligus menjadi ibu kota Provinsi.
Kota ini dikenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis khatulistiwa. Di utara kota Pontianak, tepatnya Siantan, terdapat Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada tempat yang dilalui garis khatulistiwa. Selain itu, Kota Pontianak dilalui oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kedua sungai itu diabadaikan dalam lambang Kota Pontianak. Kota ini memiliki luas wilayah 107,82 kilometer persegi.
AWAL MULA TERBENTUKNYA KOTA PONTIANAK
Nama Pontianak yang berasal dari bahasa Melayu yang beraini dipercaya ada kaitannya dengan kisah Syarif Abdurrahman yang sering diganggu oleh hantu Kuntilanak ketika dia menyusuri Sungai Kapuas.
Menurut ceritanya, Syarif Abdurrahman terpaksa melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu itu sekaligus menandakan di mana meriam itu jatuh, maka di sanalah wilayah kesultanannya didirikan. Peluru meriam itu jatuh di dekat persimpang Sungai Kapuas dan Sungai Landak, yang kini dikenal dengan nama Kampung Beting.
Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.
Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami' (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.
pendirian kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang sejarawan Belanda, V.J. Verth dalam bukunya Borneos Wester Afdeling, yang isinya sedikit berbeda dari versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat saat ini.
Menurutnya, Belanda mulai masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi) dari Batavia. Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut sebagai Al Habib Husin), meninggalkan Kerajaan Mempawah dan mulai merantau. Di wilayah Banjarmasin, ia menikah dengan adik sultan Banjar Sunan Nata Alam dan dilantik sebagai Pangeran.
Ia berhasil dalam perniagaan dan mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai kapal pencalang dan perahu lancangnya, kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan Pasir. Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan Sungai Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak.
MASA PENJAJAHAN BELANDA DAN JEPANG
Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpola. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal.
Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak.
Assistent Resident het Hoofd der Afdeeling van Pontianak (semacam Bupati Pontianak) mendirikan Plaatselijk Fonds. Badan ini mengelola eigendom atau kekayaan Pemerintah dan mengurus dana pajak. Plaatselijk Fonds kemudian berganti nama menjadi Shintjo pada masa kependudukan Jepang di Pontianak.
Berdasarkan besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/1940 PK yang disahkan menetapkan status Pontianak sebagai stadsgemeente. R. Soepardan ditunjuk menjadi syahkota atau pemimpin kota saat itu. Jabatan Soepardan berakhir pada awal tahun 1948 dan kemudian digantikan oleh Ads. Hidayat.
Kemudian, pusat PPD ini dipindahkan ke Pontianak yang awalnya berasal dari Sanggaupada 1 November 1945 dan menjadi suatu wadah kebangkitan Dayak pada 3 November 1945, sekitar 74 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pembentukan stadsgerneente bersifat sementara, maka Besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak diubah dan digantikan dengan Undang-undang Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 16 September 1949 No. 40/1949/KP. Dalam undang-undang ini disebut Peraturan Pemerintah Pontianak dan membentuk Pemerintah kota Pontianak, sedangkan perwakilan rakyat disebut Dewan Perwakilan Penduduk Kota Pontianak. Wali kota pertama ditetapkan oleh Pemerintah Kerajaan Pontianak adalah Rohana Muthalib. Ia adalah seorang wanita pertama yang menjadi wali kota Pontianak.
Sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka dengan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk Pemerintahan Landschap Gemeente, ditingkatkan menjadi kota praja Pontianak. Pada masa ini urusan pemerintahan terdiri dari Urusan Pemerintahan Umum dan Urusan Pemerintahan Daerah.
MENJADI KOTA MADYA
Pemerintah Kota Praja Pontianak diubah dengan berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No.6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1960, Instruksi Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 1964 dan Undang-undang No. 18 Tahun 1965, maka berdasarkan Surat Keputusan DPRD-GR Kota Praja Pontianak No. 021/KPTS/DPRD-GR/65 tanggal 31 Desember 1965, nama Kota Praja Pontianak diganti menjadi Kotamadya Pontianak, kemudian dengan Undang-undang No.5 Tahun 1974, nama Kotamadya Pontianak berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Pontianak.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah di Daerah mengubah sebutan untuk Pemerintah Tingkat II Pontianak menjadi sebutan Pemerintah Kota Pontianak, sebutan Kotamadya Potianak diubah kemudian menjadi Kota Pontianak.
Kota ini dikenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis khatulistiwa. Di utara kota Pontianak, tepatnya Siantan, terdapat Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada tempat yang dilalui garis khatulistiwa. Selain itu, Kota Pontianak dilalui oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kedua sungai itu diabadaikan dalam lambang Kota Pontianak. Kota ini memiliki luas wilayah 107,82 kilometer persegi.
AWAL MULA TERBENTUKNYA KOTA PONTIANAK
Nama Pontianak yang berasal dari bahasa Melayu yang beraini dipercaya ada kaitannya dengan kisah Syarif Abdurrahman yang sering diganggu oleh hantu Kuntilanak ketika dia menyusuri Sungai Kapuas.
Menurut ceritanya, Syarif Abdurrahman terpaksa melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu itu sekaligus menandakan di mana meriam itu jatuh, maka di sanalah wilayah kesultanannya didirikan. Peluru meriam itu jatuh di dekat persimpang Sungai Kapuas dan Sungai Landak, yang kini dikenal dengan nama Kampung Beting.
Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.
Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami' (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.
pendirian kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang sejarawan Belanda, V.J. Verth dalam bukunya Borneos Wester Afdeling, yang isinya sedikit berbeda dari versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat saat ini.
Menurutnya, Belanda mulai masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi) dari Batavia. Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut sebagai Al Habib Husin), meninggalkan Kerajaan Mempawah dan mulai merantau. Di wilayah Banjarmasin, ia menikah dengan adik sultan Banjar Sunan Nata Alam dan dilantik sebagai Pangeran.
Ia berhasil dalam perniagaan dan mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai kapal pencalang dan perahu lancangnya, kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan Pasir. Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan Sungai Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak.
MASA PENJAJAHAN BELANDA DAN JEPANG
Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpola. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal.
Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak.
Assistent Resident het Hoofd der Afdeeling van Pontianak (semacam Bupati Pontianak) mendirikan Plaatselijk Fonds. Badan ini mengelola eigendom atau kekayaan Pemerintah dan mengurus dana pajak. Plaatselijk Fonds kemudian berganti nama menjadi Shintjo pada masa kependudukan Jepang di Pontianak.
Berdasarkan besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/1940 PK yang disahkan menetapkan status Pontianak sebagai stadsgemeente. R. Soepardan ditunjuk menjadi syahkota atau pemimpin kota saat itu. Jabatan Soepardan berakhir pada awal tahun 1948 dan kemudian digantikan oleh Ads. Hidayat.
Kemudian, pusat PPD ini dipindahkan ke Pontianak yang awalnya berasal dari Sanggaupada 1 November 1945 dan menjadi suatu wadah kebangkitan Dayak pada 3 November 1945, sekitar 74 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pembentukan stadsgerneente bersifat sementara, maka Besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak diubah dan digantikan dengan Undang-undang Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 16 September 1949 No. 40/1949/KP. Dalam undang-undang ini disebut Peraturan Pemerintah Pontianak dan membentuk Pemerintah kota Pontianak, sedangkan perwakilan rakyat disebut Dewan Perwakilan Penduduk Kota Pontianak. Wali kota pertama ditetapkan oleh Pemerintah Kerajaan Pontianak adalah Rohana Muthalib. Ia adalah seorang wanita pertama yang menjadi wali kota Pontianak.
Sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka dengan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk Pemerintahan Landschap Gemeente, ditingkatkan menjadi kota praja Pontianak. Pada masa ini urusan pemerintahan terdiri dari Urusan Pemerintahan Umum dan Urusan Pemerintahan Daerah.
MENJADI KOTA MADYA
Pemerintah Kota Praja Pontianak diubah dengan berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No.6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1960, Instruksi Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 1964 dan Undang-undang No. 18 Tahun 1965, maka berdasarkan Surat Keputusan DPRD-GR Kota Praja Pontianak No. 021/KPTS/DPRD-GR/65 tanggal 31 Desember 1965, nama Kota Praja Pontianak diganti menjadi Kotamadya Pontianak, kemudian dengan Undang-undang No.5 Tahun 1974, nama Kotamadya Pontianak berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Pontianak.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah di Daerah mengubah sebutan untuk Pemerintah Tingkat II Pontianak menjadi sebutan Pemerintah Kota Pontianak, sebutan Kotamadya Potianak diubah kemudian menjadi Kota Pontianak.
0 Response to "Sejarah Asal Usul Kota Pontianak Kalimantan Barat"
Post a Comment