Riwayat Asal Usul Raden Walang Sungsang, Pendiri Cirebon
Thursday, July 18, 2019
Add Comment
Pangeran Walangsungsang dalam sejarah Cirebon dikenal memiliki beberapa nama, akan tetapi nama yang paling masyhur selain nama aslinya adalah Cakrabuana, dan Ki Kuwu Carbon. Pangeran Walangsungsang sendiri merupakan anak dari Prabu Siliwangi dengan Istrinya Nyimas Ratu Subanglarang. Beliau merupakan anak pertama dari keduanya.
Meskipun ayahnya seorang Raja Sunda dan sudah tentu beragama Budha, akan tetapi Pangeran Walangsungsang ini sejak kecil mengikuti agama Ibunya Islam, sebab Ibunya selain anak seorang pembesar di Mertasinga juga merupakan santri Syekh Qura Karawang.
Menurut Naskah Purawaka Caruban Nagari, Pangeran Walangsungsang keluar dari Istana Pajajaran dan memilih menjadi pengembara selepas kewafatan ibundanya, sebab khabarnya Pangeran Walangsungsang mendapat perlakukan buruk di Istana karena ia berbeda agama dengan kerabatnya.
Pada tahun ± 200 SM telah terjadi perpindahan bangsa tiga kali dari Inodcina ke Indonesia, yang terakhir terjadi perpindahan bangsa keling berjumlah sekitar 20.000 keluarga yang dipimpin langsung oleh seorang pendeta dari Bizantium (kerajaan Romawi Timur), ibu kota Constantinopel (Istambul) orang Jawa menyebutnya Roma Turki.
Mereka mendarat di beberapa daerah di Jawa Barat di antaranya Teluk Jakarta, Pulau Gadung, yang sekarang menjadi ibu kota negara Republik Indonesia, di pinggir-pinggir kali Cisadane dan Citarum Bogor, dan di Pesambangan Gunung Jati Cirebon Desa Jatimerta di Muarajati (Alas Konda), di teluk Banten, dan Pelabuhan Ratu daerah Rawalakbok, Banjar dan Ciamis. Proses penyebaran penduduk imigran ini terjadi pada tahun ± 87 M yang diawali tahun 1 (satu) Babad Zaman (Ano Jawa).
LAHIRNYA RADEN WALANG SUNGSANG
Kemudian seiring waktu dengan perjalanan waktu ± 363 tahun lamanya, laju pertumbuhan penduduk kian hari berkembang dengan pesat hingga pada tahun 450 M di Jawa Barat berdirilah sebuah kerajaan Taruma Negara yang terletak di daerah Cisadane Bogor. Raja tersebut bernama Purnawarman yang tertulis pada sebuah prasasti di sungai Cisadane.
Disusul kemudian pada abad ke-7, di Jawa Barat berdiri pula kerajaan Banjarsari yang terletak di daerah Rawalakbok, sebuah daerah yang diapit kota Cimais dan Banjar Tasikmalaya, hingga sekarang masih ada petilasannya yaitu petilasan Pameradan Ciung Wanara, rajanya bernama Prabu Adi Mulya, semasa kecilnya bernama Pangeran Lelean.
Raja Ciung Wanara (Prabu Adi Mulya) wafat lalu digantikan oleh putri sulungnya yang bernama Ratu Purbasari, kemudian ia membangun dan memindahkan kerajaanya ke Pakuan Bogor. Pada waktu itu agama yang dianutnya adalah agama Sang Hiyang (Hindu-Budha). Setelah Ratu Purbasari wafat, kemudian secara berturut-turut digantikan oleh putra-putranya, yaitu:
Prabu Linggahiang, Prabu Linggawesi, Prabu Wastukancana, Prabu Susuk Tunggal, Prabu Banyak Larang, Prabu Banyakwangi, Prabu Anggalarang, Prabu Mundingkawati, Prabu Siliwangi.
Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, semasa kecilnya bernama Raden Pamanahrasa yang merupakan raja Pajajaran yang ke-9. Kemudian ia mempersuting Nyimas Subanglarang (Subang Kerancang), yaitu seorang putri Mangkubumi Mertasinga (Singapura). Dari perkawinannya dengan Nyimas Subanglarang tahun 1404 M dikaruniai 3 (tiga) orang anak yaitu:
Pangeran Walangsungsang (1423 M), Nyimas Ratu Rarasantang (1427 M) dan Pangeran Raja Sengara (1429 M)
Tiga putra inilah kelak kemudian hari akan membabad / membangun pedukuhan Cirebon yang berlangsung pada tanggal 1 Syuro tahun 1445. Pangeran Walangsungsang dilahirkan pada tahun 1423 M di keraton Pajajaran ayahnya bernama Prabu Siliwangi, raja ke-9. Sedangkan ibunya Ratu Subang Larang yang memeluk agama Islam di Pengguron Syekh Quro Kerawang, Jawa Barat.
Pangeran Walangsungsang dalam usia remaja pada tahun 1441 M keluar dari kerton Pajajaran, pada saat itu usianya baru 17 tahun. Kala itu, pada suatu malam ia mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Dalam mimpinya beliau diperintahkan agar mencari agama Islam yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.
Hal yang sama juga dialami oleh adiknya yaitu Nyimas Rarasantang, kemudian satu persatu mereka keluar dari keraton Pajajaran untuk berguru agama Islam, mengembara menelusuri hutan belantara, naik gunung turun gunung selama sembilan bulan. Pertama kali yang dituju adalah Gunung Merapi yang terletak di Padepokan Priyangan Timur, tepatnya di desa Raja Desa Ciamis Timur.
Alkisah, Ratu Mas Rarasantang yang berada di Pajajaran rindu kepada kakanda Raden Walangsungsang yang telah mendahului keluar dari istana. Setelah ditinggalkan oleh kakandanya, Ratu Mas Rarasantang selalu murung. Ia menangis tersedu-sedu siang malam berturut-turut selama empat hari. Dikala malam telah sunyi Ratu Mas Rarasantang sedang tidur nyenyak bermimpi bertemy dengan seorang laki-laki yang tampan lagi berbau harum memberi wejangan-wejangan ajaran Islam dan menyuruh berguru agama Islam syaiat Nabi Muhammad saw, dan kelak dikemudian hari akan mempunyai suami raja islam dan akan mempunyai anak laki-laki yang akan menjadi wali kutub.
Ratu Mas Rarasantang tersentak dan bangun dari tidurnya dan ia sadar dari mimpinya, lalu ia keluar dari istana untuk menyusul kakaknda Raden Walangsungsang yang sedang terus berjalan tak mengenal lelah menuju ke arah timur.
Dikisahkan setelah keluarnya dua putra mahkotanya, sang ibunda tercinta, Ratu Subang Larang, merasa sangat sedih dan prihatin. Ia menangisi dan menyungkemi sang prabu karena kedua putranya telah hilang pergi. Setelah mendengar penuturan Ratu Subang Larang, sang prabu tersentak dan terkejut. Sang prabu segera memanggil seluruh satria, sentana, patih, bupati, dan menteri. Setelah semua para wadiabala dikumpulkan dan juga para pembesar kerajaan sudah hadir, maka Sang Prabu Siliwangi bersabda: “Wahai Patih Argatala, Dipati Siput, sekarang carilah putriku Dewi Ratu Mas Rarasantang , disuruh pulang, carilah jangangan sampai tidak berhasil.” Patih Argatala menjawab: “Sendika Gusti.”
Patih Argatala segera keluar dari keraton untuk mengumumkan kepada seluruh wadiabala di Pajajaran. Seketika semua orang ggeger dan panik, lalu semuanya menyebar ke segala penjuru Patih Argatala mencarinya dengan bertapa menuruti perjalanan para pendeta. Adipati Siput mencarinya dengan cara memasuki hutan keluar hutan menuruti perjalanan hewan. Para wadiabala bubar ketujuannya masing-masing, mereka takut pulang sebelum berhasil membawa pulang dua putra mahkota Pajajaran.
PENDIRI CARUBAN (CIREBON)
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana merintis Caruban Nagari dari jenjang yang paling bawah sampai menjadi raja muda. Perintisannya diantaranya membuat pemukiman di Tegal Alang Alang, hingga akhirnya disebut Caruban yang artinya campuran. Membuat lahan pertanian di daerah Panjunan, membuat industry produk laut diantaranya terasi, petis, ikan kering dan garam. Mendirikan masjid dan Keraton Pakungwati dengan pembiayaan darai warisan kakeknya Ki Ageng Tapa, serta membuat pasukan keamanan lengkap dengan angkatan bersenjatanya. Pada saat Pangeran Walangsungsangmenjadi pemimpin di Caruban, Ayahnya, Raja Sunda merestui dengan mengirim Tumenggung Jagabaya membawa panji-panji kerajaan serta memberikan wilayah kekuasaan kepada Pangeran Walngsungsang Cakrabuana.
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, bukan semata-mata untuk membentuk suatu pemerintahan yang berkuasa, namun mempersiapkan perkembangan dakwah Islamiyah yang menjadi cita-cita saat itu, yang kelanjutannya akan diteruskan oleh anak dari adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang, yaitu Syarief Hidayat. Pengetahuan tentang akan datang seorang pemimpin dan pemuka agama islam, yang tidak lain adlah keponakannya sendiri, telah diketahui berdasarkan nasehat dari guru-guru keduanya diantaranya adalah Syekh Quro, Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi.
Pangeran Walangsungsang bertemu Syekh Quro, di dalam pertemuan tersebut. Syekh Quro mengatakan kepada Pangeran Walangsungsang bahwa kelak adiknya akan berjodoh dengan raja Mesir dan akan dianugerahi anak yang bernama Maulana Jati, yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa Cirebon. Seperti yang tertera dalam Naskah Carub Kanda Carang Seket.
Pada kesempatan yang berbeda, pada saat Pangeran Walangsungsang hendak berguru pada Syekh Maulana Magribi[1], Syekh Maulana Magribi menolak untuk menjadi guru mereka. Ia menyarankan Pangeran Walangsungsang untuk berguru pada Syekh Datul Kahfi/ Syekh Maulana Idhofi. Pada pertemuan tersebut Syekh Maulana Magribi mengatakan bahwa pada saat Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang menunaikan ibadah haji, maka beliau akan dinikahi oleh Sultan Mesir dan menikah disana, kemudian dari pernikahan tersebut akan lahir pemimpin para wali di Pulau Jawa. Pertemuan Pangeran Walangsungsang dengan Syekh Maulana Magribi tersebut terekam dalam Carub Kanda Carang Seket pupuh Asmarandana.
Pangeran Cakrabuana dan Nyi Mas Ratu Rarasantang kemudian menuruti saran dari Syekh Maulana Magribi berguru pada Syekh Datul Kahfi pada tahun 1442 M. Nyekh Datul Kahfi beserta istrinya sangat senang akan kedatangan keduanya. Mereka diperkenankan tinggal di Gunung Jati dan melarang keduanya kembali ke Negara Sunda. Syekh Datul Kahfi mengatakan pada Nyi Mas Ratu Rarasantang bahwa ia kelak akan bersuamikan Sultan Bani Israil, dan darinya akan lahir seorang anak yang akan meng-Islamkan tanah Sunda, mengalahkan agama Sunda.
Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana memperoleh banyak nasehat dan ilmu dari Syekh Datul Kahfi. Setelah tiga tahun berguru, mereka kemudian diperintahkan oleh Syekh Datul Kahfi untuk membuka Tegal Alang-Alang di Lemahwungkuk yang merupakan cikal bakal kota Cirebon. Pada tanggal 14 bagian terang bulan Carita tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April tahun 1445 Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah dibantu 52 orang penduduk, membuka perkampungan baru di hutan pantai kebon pesisir.
Lama kelamaan daerah Tegal Alang-Alang berkembang menjadi pedukuhan yang maju. Tak lama kemudian mereka diperintahkan untuk menunaikan Rukun Islam kelima. Setelah berhaji Nyi Mas Ratu Rarasantang bernama Hajjah Syarifah Mudaim, sedangkan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana menjadi Haji Abdullah Iman.
Pada saat itulah Nyi Mas Ratu Rarasantang bertemu dengan Maulana Sultan Mahmud/ Syarif Abdullah/ Sultan Amiril Mukminin/ Sultan Khut, Anak Nurul Alim dari bangsa Hasyim (Bani Ismail), yang memerintah kota Ismailiyah, Palestina. Maulana Sultan Mahmud, yang baru saja ditinggal mati oleh istrinya bermaksud menikahi Nyi Mas Ratu Rarasantang. Syarif Abdullah pergi ke arah timur dari istananya dengan mengajak Nyi Mas Ratu Rarasantang ke bukit Tursinah dengan diikuti Pangeran Cakrabuana dan patih Jalalluddin. Disana ia melamar Nyi Mas Rarasantang.
Perjanjian pra nikah antara keduanya di Bukit Tursina terdapat dalalam Pupuh Kasmaran Naskah Mertasinga, Carang Seket, Serat Kawedar dan Sejarah Lampah ing para Wali Kabeh. Isi dari perjanjian tersebut adalah bahwa Nyi Mas Ratu Rarasantang bersedia dinikahi oleh Syarif Abdullah dengan syarat bahwa bila ia melahirkan anak laki-laki, anak tersebut diperbolehkan untuk menjadi pemimpin agama di Jawa untuk mengislamkan saudara-saudaranya di Padjajaran.
Perjanjian tersebut dihadiri oleh Pangeran Walangsungsang Cakrabuana selaku wali dari Nyi Mas Rarasantang. Syarif Abdullah menyepakati perjanjian tersebut.
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana pun menyetujui perjanjian tersebut. Karena hal tersebut pun telah diramalkan pada saat pertemuan mereka dengan Syekh Quro, Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi. Yang secara tidak langsung ramalan tersebut merupakan nasehat dan sekaligus merupakan amanat dari para pemuka agama di sana saat itu.
Akhirnya Nyi Mas Ratu Rarasantang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud. Menikahnya Syarifah Mudaim dan Syarif Abdullah bukan merupakan kebetulan belaka. Syarif Abdullah adalah adik ipar dari Syekh Datul Kahfi. Antara Syekh Datul Kahfi, Syekh Quro dan Syekh Maulana Magribi merupakan utusan utusan dari Persia[6] yang diperintahkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menyebarkan Agama Islam diluar jazirah Arab. Penyebaran agama Islam keluar jazirah Arab sudah dilakukan beberapa abad sebelumnya, tetapi belum sanggunp mengislamisasi masal penduduk di luar jazirah Arab.
Bahkan ratusan orang mati sahid dalam perjuan dakwah tersebut. Sampai akhirnya abad ke-13 penyebaran Islam di jazirah Arab mulai mengalami penurunan, sehingga dibuatlah strategi dakwah untuk tetap menyebarkan Islam dengan cara mengirimkan para pemuka agama ke berbagai daerah. Selain berdakwah, para penyebar agama Islam tersebut menikah pula dengan penduduk lokal.
Pernikahan Nyi Mas Ratu Rarasantang merupakan sebuah skenario besar untuk melakukan Islamisasi masal melalui keturunan mereka di kemudian hari. Dengan cara mensugesti Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang, sehingga mereka mau mengikuti petunjuk para guru mereka.
Para pendakwah senior tersebut telah mengkaji dan mengambil pelajaran dari pengamalan mereka sebelumnya, dimana perkawinan antar mualaf Nyi Mas Subang Karancang, ibunda Nyi Mas Ratu Rarasantang yang berguru pada Syekh Quro, dengan Pemanah Rasa, calon Raja Sunda, gagal, tidak berhasil mengislamkan tanah Sunda, sehingga mereka membuat strategi dakwah baru dengan cara kaderisasi potensi calon-calon pendakwah baru.
Salah satu caranya adalah mengawinkan anak-anak perempuan keturunan raja-raja Jawa dengan keturunan raja-raja di Timur Tengah, yang keturunan nabi, sehingga keturunannya yang akan menyebarkan agama Islam kelak memiliki legitimasi.
Pada tahun 1448 M,Syarifah Mudaim yang dalam keadaan hamil tua menunaikan ibadah haji kembali. Di Kota Mekah ia melahirkan Syarif Hidayatullah di Kota Mekah. Dua tahun kemudian lahirlah Syarif Nurullah, adik Syarif Hidayat.
Syarif Hidayat, keponakan Pangeran Cakrabuana dibesarkan di negara ayahnya, Mesir. Syarif Hidayat tumbuh menjadi pemuda yang cerdas. Syarif Hidayatullah sangat taat menjalankan syariat Islam. Ia seorang muslim yang takwa. Syarif Hidayat gemar mempelajari ajaran Agama Islam. Ia bercita-cita mengajarkan dan menyebarkan agama Islam.Suatu hari ia membaca dan mempelajari sebuah kitab.
Dari kitab tersebut ia menyatakan keinginannya kkepada ibundanya, Syarifah Mudaim, berguru kepada Nabi Muhammad SAW. Syariffah Mudaim mengatakan bahwa Rasulullah telah meninggal dunia. Dengan ilmu yang dipelajari oleh Syarif Hidayat secara diam-diam, melalui silaturruhiyah ia bertemu dengan Nabi Khidir dan Rasulullah, hal tersebut merupakan perjalanan spiritual Syarif Hidayat yang ditulis pada Naskah Mertasinga dan Naskah Kuningan. Dalam naskah tersebut, Syarif Hidayat hendak berguru kepada Rasulullah. Namun Rasullullah menyuruh Syarif Hidayat mencari guru dzohir.
Sehingga ketika berusia dua puluh tahun, pergi ke Mekah, berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri/ Najmuddin. Naskah Kuningan menjelaskan tentang Syarif Hidayat yang berguru kepada Syekh Tajuddin. Kepada Syekh Tajuddin, Syarif Hidayat belajar adab para guru, dzikir, silsilah, shugul, Tarekat Isqiyah, dan adab Syatori. Ia juga belajar tentang ilmu syariat, ilmu tarekat, ilmu hakekat dan ilmu makrifat. Pada saat berguru pada Syekh Tajuddin, Syarif Hidayat diberi nama Madkurullah.
Setelah dua tahun lamannya, Syarif Hidayat kemudian menuntut ilmu tawasul rasulpada Syekh Athaullah Sadili, yang bermahzab Syafi’i di Bagdad. Darinya Syarif Hidayat juga belajar istilah Sirr(Sirrullah), Tarekat Syaziliyah, Tarekat Syatariyah, Isyki Naqisbandiyah, dzikir jiarah, bermeditasi, riyadhah (latihan tarekat/sufi) di tempat-tempat suci. Oleh Syekh Athaullah, Syarif idayat diberi nama Arematullah.
Setelah itu ia kembali ke negara ayahnya, dan diminta untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama pamannya, Pangeran Walangsungsang Cakrabuana. Posisi Raja Mesir diserahkan dari Patih Ongkhajuntra, paman Syarif Hidayat kepada oleh adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayat memiliki banyak nama yaitu Sayyid Kamil dan Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Sultanil Mahmud al Kibti[9]. Kemudian Sayid Kamil pergi ke pulau Jawa, di perjalanananya ia singgah di Gujarat, tingal disitu selama tiga bulan, selanjutnya ia tingal di Paseh (Pasei). Di Paseh, Syarif Hidayat tinggal di pondok saudaranya selama dua tahun, yaitu Sayid Ishaq, bapak Raden Paku/ Sunan Giri, yang menjadi guru agama Islam di Paseh di Sumatra.
Kemudian Syarif Hidayat pergi ke ke pulau Jawa, singgah di negeri Banten. Disini banyak penduduk telah memeluk agama Rasul, karena Sayyid Rahmat (Ngampel Gading) telah menyebarkan Agama Islam di sini, yang di gelari Susuhunan Ampel, juga salah seorang saudaraanya.
Berdasarkan Naskah Kuningan, Syarif Hidayat kemudian berguru pada Syekh Sidiq di Surandil jati wisik (ajaran sejati),ba’iyat serta muhal maha, talkin dalam dzikir sirr, tarekat Muhammadiyah,Anapsiah, dan Jaujiyah Makomat Pitu, serta melakukan kanaat dan uzlah.
Syarif Hidayat kemudian berguru kepada Syekh Mad Kurullah (Syekh Quro) di Gunung Gundul. Syekh Quro adalah penganut mahdzab Hanafi. Pada saat berguru pada Syekh Quro, Syarif Hidayat banyak mempelajari dan mengalami perjalanan spiritual.
Kemudian Datul Bahrul kemudian memberi nama Syarif Hidayat dengan Wujudullah dan menyarankan Syarif Hidayat menambah pengetahuan tentang pada Sunan Ampel Denta. Maka berangkatlah Syarif Hidayat pergi ke Ngampel dengan naik perahu milik orang Jawa Timur. Perjalanan Syarif Hidatyat berguru pada beberapa orang tertulis dalam Kitab Negara Kertabhumi.
Setibanya Syarif Hidayat/ Wujudullah di Ampel Denta lalu pergi menghadap dan menyampaikan hormatnya kepada yang mulia Sunan Ampel. Maka Wujudullah pun kemudian mengabdi di Ampel Denta dan dia diangkat saudara oleh anak-anaknya. Di sana sudah berguru pula murid yang lain diantaranya , Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan KaliJaga. Wujudullah sangat disayangi oleh Sunan Ampel karena berbagai ilmu yang diajarkan oleh Sunan Ampel dapat dikuasai oleh Wujudullah.
Sementara itu, para Wali semuanya (sedang) ada di situ, mereka masing-masing di beri tugas mengajarkan agama Rasul kepada penduduk di daerah yang menganut agama Siwa- Budha. Kemudian Syarif Hidayat meminta nasehat pada Sunan Ampel. Sunan Ampel memberikan nasihat sebagai berikut :
“he putra, jandika iku mung aja ngebat-tebati, iku laku ingkang ala.lawan putra ya den wani ngajaga ing perkara agama ingkang sayakti. Lan kang sabar putera iku, tawekal maring yang Widhi. Lan den esak maring sanak, saying ing kawla wargi, lawan putera ya den inget enggal, saniki wis sedeng dadi. Molana ingkang luhung, dadi guru ing Gunung Jati, ya kalawan uwa dika, mapan waris saking umi. Cipamali wates sira dumugi ing ujung kulon. Inggih waris dika ikumugi jandika wengkoni. Mung pacuan ngembat-embatan, sabab lepen cipamali wawtesing balambangan iku dudu dika waris. Poma-poma ya den emut, lawan putera dika yen wangsul ing amparan sampun margi ing darat, marginana sing lautan”.
(Anakku, janganlah kamu bertindak berlebihan karena itu adalah sifat yang tercela, dan beranilah menjaga kebenaran agama, bersabarlah, tawakkal kepada yang Maha esa, dan jangan menyakiti sesame saudara. Dan ingatlah anakku bahwa sekarang sudah cukup waktunya anakku untuk menjadi Maulana yang luhur dan menjadi Guru di Gunungjati bersama uwakmu. Mewarisi pusaka ibumu, dari Cipamali hingga di Ujung Kulon, itulah warisanmu. Hanya saja hati-hati bahwa batas dari sungan Cipamali hingga Blambangan itu bukanlah warisanmu. Ingatlah nasihatku baik-baik, dan anakku bilmana kamu pulang ke Amparan janganlah pulang melalui daratan, pergilah melalui lautan). Demikianlah pesan sang guru.
Sayid kamil menerima tugas di negeri Carbon, yaitu di Gunung Sembung, karena disana tempat tinggal uwanya, yaitu Haji Abdullah Iman yang menjadi Kuwu Carbon kedua.
Dalam perjalanan ke Carbon, Syarif Hidayat bertemu dengan Dipati Keling dan berhasil mengislamkannya berikut rombongan mereka sejumlah sembilan puluh delapan orang. Selanjutnya Dipati Keling dan rombonganpa tahun, nya menjadi pengikut Syarif Hidayat yang setia.
Setibanya di Carbon Syarif Hidayat kemudian membangun pondok dan menjadi guru agama Islam. Di Babadan Syarif Hidayat mengislamkan Ki Gede Babadan dan menikah dengan putrinya Ki Gede Babadan. Umur pernikahan mereka hanya berlangsung beberapa tahun karena Nyi Mas Babadan meninggal dunia. Kemudian Syarif Hidayat menikah dengan Syaripah Bagdad, putri Syekh Datul Kahfi.
Meskipun ayahnya seorang Raja Sunda dan sudah tentu beragama Budha, akan tetapi Pangeran Walangsungsang ini sejak kecil mengikuti agama Ibunya Islam, sebab Ibunya selain anak seorang pembesar di Mertasinga juga merupakan santri Syekh Qura Karawang.
Menurut Naskah Purawaka Caruban Nagari, Pangeran Walangsungsang keluar dari Istana Pajajaran dan memilih menjadi pengembara selepas kewafatan ibundanya, sebab khabarnya Pangeran Walangsungsang mendapat perlakukan buruk di Istana karena ia berbeda agama dengan kerabatnya.
Pada tahun ± 200 SM telah terjadi perpindahan bangsa tiga kali dari Inodcina ke Indonesia, yang terakhir terjadi perpindahan bangsa keling berjumlah sekitar 20.000 keluarga yang dipimpin langsung oleh seorang pendeta dari Bizantium (kerajaan Romawi Timur), ibu kota Constantinopel (Istambul) orang Jawa menyebutnya Roma Turki.
Mereka mendarat di beberapa daerah di Jawa Barat di antaranya Teluk Jakarta, Pulau Gadung, yang sekarang menjadi ibu kota negara Republik Indonesia, di pinggir-pinggir kali Cisadane dan Citarum Bogor, dan di Pesambangan Gunung Jati Cirebon Desa Jatimerta di Muarajati (Alas Konda), di teluk Banten, dan Pelabuhan Ratu daerah Rawalakbok, Banjar dan Ciamis. Proses penyebaran penduduk imigran ini terjadi pada tahun ± 87 M yang diawali tahun 1 (satu) Babad Zaman (Ano Jawa).
LAHIRNYA RADEN WALANG SUNGSANG
Kemudian seiring waktu dengan perjalanan waktu ± 363 tahun lamanya, laju pertumbuhan penduduk kian hari berkembang dengan pesat hingga pada tahun 450 M di Jawa Barat berdirilah sebuah kerajaan Taruma Negara yang terletak di daerah Cisadane Bogor. Raja tersebut bernama Purnawarman yang tertulis pada sebuah prasasti di sungai Cisadane.
Disusul kemudian pada abad ke-7, di Jawa Barat berdiri pula kerajaan Banjarsari yang terletak di daerah Rawalakbok, sebuah daerah yang diapit kota Cimais dan Banjar Tasikmalaya, hingga sekarang masih ada petilasannya yaitu petilasan Pameradan Ciung Wanara, rajanya bernama Prabu Adi Mulya, semasa kecilnya bernama Pangeran Lelean.
Raja Ciung Wanara (Prabu Adi Mulya) wafat lalu digantikan oleh putri sulungnya yang bernama Ratu Purbasari, kemudian ia membangun dan memindahkan kerajaanya ke Pakuan Bogor. Pada waktu itu agama yang dianutnya adalah agama Sang Hiyang (Hindu-Budha). Setelah Ratu Purbasari wafat, kemudian secara berturut-turut digantikan oleh putra-putranya, yaitu:
Prabu Linggahiang, Prabu Linggawesi, Prabu Wastukancana, Prabu Susuk Tunggal, Prabu Banyak Larang, Prabu Banyakwangi, Prabu Anggalarang, Prabu Mundingkawati, Prabu Siliwangi.
Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, semasa kecilnya bernama Raden Pamanahrasa yang merupakan raja Pajajaran yang ke-9. Kemudian ia mempersuting Nyimas Subanglarang (Subang Kerancang), yaitu seorang putri Mangkubumi Mertasinga (Singapura). Dari perkawinannya dengan Nyimas Subanglarang tahun 1404 M dikaruniai 3 (tiga) orang anak yaitu:
Pangeran Walangsungsang (1423 M), Nyimas Ratu Rarasantang (1427 M) dan Pangeran Raja Sengara (1429 M)
Tiga putra inilah kelak kemudian hari akan membabad / membangun pedukuhan Cirebon yang berlangsung pada tanggal 1 Syuro tahun 1445. Pangeran Walangsungsang dilahirkan pada tahun 1423 M di keraton Pajajaran ayahnya bernama Prabu Siliwangi, raja ke-9. Sedangkan ibunya Ratu Subang Larang yang memeluk agama Islam di Pengguron Syekh Quro Kerawang, Jawa Barat.
Pangeran Walangsungsang dalam usia remaja pada tahun 1441 M keluar dari kerton Pajajaran, pada saat itu usianya baru 17 tahun. Kala itu, pada suatu malam ia mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Dalam mimpinya beliau diperintahkan agar mencari agama Islam yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.
Hal yang sama juga dialami oleh adiknya yaitu Nyimas Rarasantang, kemudian satu persatu mereka keluar dari keraton Pajajaran untuk berguru agama Islam, mengembara menelusuri hutan belantara, naik gunung turun gunung selama sembilan bulan. Pertama kali yang dituju adalah Gunung Merapi yang terletak di Padepokan Priyangan Timur, tepatnya di desa Raja Desa Ciamis Timur.
Alkisah, Ratu Mas Rarasantang yang berada di Pajajaran rindu kepada kakanda Raden Walangsungsang yang telah mendahului keluar dari istana. Setelah ditinggalkan oleh kakandanya, Ratu Mas Rarasantang selalu murung. Ia menangis tersedu-sedu siang malam berturut-turut selama empat hari. Dikala malam telah sunyi Ratu Mas Rarasantang sedang tidur nyenyak bermimpi bertemy dengan seorang laki-laki yang tampan lagi berbau harum memberi wejangan-wejangan ajaran Islam dan menyuruh berguru agama Islam syaiat Nabi Muhammad saw, dan kelak dikemudian hari akan mempunyai suami raja islam dan akan mempunyai anak laki-laki yang akan menjadi wali kutub.
Ratu Mas Rarasantang tersentak dan bangun dari tidurnya dan ia sadar dari mimpinya, lalu ia keluar dari istana untuk menyusul kakaknda Raden Walangsungsang yang sedang terus berjalan tak mengenal lelah menuju ke arah timur.
Dikisahkan setelah keluarnya dua putra mahkotanya, sang ibunda tercinta, Ratu Subang Larang, merasa sangat sedih dan prihatin. Ia menangisi dan menyungkemi sang prabu karena kedua putranya telah hilang pergi. Setelah mendengar penuturan Ratu Subang Larang, sang prabu tersentak dan terkejut. Sang prabu segera memanggil seluruh satria, sentana, patih, bupati, dan menteri. Setelah semua para wadiabala dikumpulkan dan juga para pembesar kerajaan sudah hadir, maka Sang Prabu Siliwangi bersabda: “Wahai Patih Argatala, Dipati Siput, sekarang carilah putriku Dewi Ratu Mas Rarasantang , disuruh pulang, carilah jangangan sampai tidak berhasil.” Patih Argatala menjawab: “Sendika Gusti.”
Patih Argatala segera keluar dari keraton untuk mengumumkan kepada seluruh wadiabala di Pajajaran. Seketika semua orang ggeger dan panik, lalu semuanya menyebar ke segala penjuru Patih Argatala mencarinya dengan bertapa menuruti perjalanan para pendeta. Adipati Siput mencarinya dengan cara memasuki hutan keluar hutan menuruti perjalanan hewan. Para wadiabala bubar ketujuannya masing-masing, mereka takut pulang sebelum berhasil membawa pulang dua putra mahkota Pajajaran.
PENDIRI CARUBAN (CIREBON)
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana merintis Caruban Nagari dari jenjang yang paling bawah sampai menjadi raja muda. Perintisannya diantaranya membuat pemukiman di Tegal Alang Alang, hingga akhirnya disebut Caruban yang artinya campuran. Membuat lahan pertanian di daerah Panjunan, membuat industry produk laut diantaranya terasi, petis, ikan kering dan garam. Mendirikan masjid dan Keraton Pakungwati dengan pembiayaan darai warisan kakeknya Ki Ageng Tapa, serta membuat pasukan keamanan lengkap dengan angkatan bersenjatanya. Pada saat Pangeran Walangsungsangmenjadi pemimpin di Caruban, Ayahnya, Raja Sunda merestui dengan mengirim Tumenggung Jagabaya membawa panji-panji kerajaan serta memberikan wilayah kekuasaan kepada Pangeran Walngsungsang Cakrabuana.
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, bukan semata-mata untuk membentuk suatu pemerintahan yang berkuasa, namun mempersiapkan perkembangan dakwah Islamiyah yang menjadi cita-cita saat itu, yang kelanjutannya akan diteruskan oleh anak dari adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang, yaitu Syarief Hidayat. Pengetahuan tentang akan datang seorang pemimpin dan pemuka agama islam, yang tidak lain adlah keponakannya sendiri, telah diketahui berdasarkan nasehat dari guru-guru keduanya diantaranya adalah Syekh Quro, Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi.
Pangeran Walangsungsang bertemu Syekh Quro, di dalam pertemuan tersebut. Syekh Quro mengatakan kepada Pangeran Walangsungsang bahwa kelak adiknya akan berjodoh dengan raja Mesir dan akan dianugerahi anak yang bernama Maulana Jati, yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa Cirebon. Seperti yang tertera dalam Naskah Carub Kanda Carang Seket.
Pada kesempatan yang berbeda, pada saat Pangeran Walangsungsang hendak berguru pada Syekh Maulana Magribi[1], Syekh Maulana Magribi menolak untuk menjadi guru mereka. Ia menyarankan Pangeran Walangsungsang untuk berguru pada Syekh Datul Kahfi/ Syekh Maulana Idhofi. Pada pertemuan tersebut Syekh Maulana Magribi mengatakan bahwa pada saat Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang menunaikan ibadah haji, maka beliau akan dinikahi oleh Sultan Mesir dan menikah disana, kemudian dari pernikahan tersebut akan lahir pemimpin para wali di Pulau Jawa. Pertemuan Pangeran Walangsungsang dengan Syekh Maulana Magribi tersebut terekam dalam Carub Kanda Carang Seket pupuh Asmarandana.
Pangeran Cakrabuana dan Nyi Mas Ratu Rarasantang kemudian menuruti saran dari Syekh Maulana Magribi berguru pada Syekh Datul Kahfi pada tahun 1442 M. Nyekh Datul Kahfi beserta istrinya sangat senang akan kedatangan keduanya. Mereka diperkenankan tinggal di Gunung Jati dan melarang keduanya kembali ke Negara Sunda. Syekh Datul Kahfi mengatakan pada Nyi Mas Ratu Rarasantang bahwa ia kelak akan bersuamikan Sultan Bani Israil, dan darinya akan lahir seorang anak yang akan meng-Islamkan tanah Sunda, mengalahkan agama Sunda.
Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana memperoleh banyak nasehat dan ilmu dari Syekh Datul Kahfi. Setelah tiga tahun berguru, mereka kemudian diperintahkan oleh Syekh Datul Kahfi untuk membuka Tegal Alang-Alang di Lemahwungkuk yang merupakan cikal bakal kota Cirebon. Pada tanggal 14 bagian terang bulan Carita tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April tahun 1445 Masehi, bertepatan dengan masuknya penanggalan 1 Muharam 848 Hijriyah, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah dibantu 52 orang penduduk, membuka perkampungan baru di hutan pantai kebon pesisir.
Lama kelamaan daerah Tegal Alang-Alang berkembang menjadi pedukuhan yang maju. Tak lama kemudian mereka diperintahkan untuk menunaikan Rukun Islam kelima. Setelah berhaji Nyi Mas Ratu Rarasantang bernama Hajjah Syarifah Mudaim, sedangkan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana menjadi Haji Abdullah Iman.
Pada saat itulah Nyi Mas Ratu Rarasantang bertemu dengan Maulana Sultan Mahmud/ Syarif Abdullah/ Sultan Amiril Mukminin/ Sultan Khut, Anak Nurul Alim dari bangsa Hasyim (Bani Ismail), yang memerintah kota Ismailiyah, Palestina. Maulana Sultan Mahmud, yang baru saja ditinggal mati oleh istrinya bermaksud menikahi Nyi Mas Ratu Rarasantang. Syarif Abdullah pergi ke arah timur dari istananya dengan mengajak Nyi Mas Ratu Rarasantang ke bukit Tursinah dengan diikuti Pangeran Cakrabuana dan patih Jalalluddin. Disana ia melamar Nyi Mas Rarasantang.
Perjanjian pra nikah antara keduanya di Bukit Tursina terdapat dalalam Pupuh Kasmaran Naskah Mertasinga, Carang Seket, Serat Kawedar dan Sejarah Lampah ing para Wali Kabeh. Isi dari perjanjian tersebut adalah bahwa Nyi Mas Ratu Rarasantang bersedia dinikahi oleh Syarif Abdullah dengan syarat bahwa bila ia melahirkan anak laki-laki, anak tersebut diperbolehkan untuk menjadi pemimpin agama di Jawa untuk mengislamkan saudara-saudaranya di Padjajaran.
Perjanjian tersebut dihadiri oleh Pangeran Walangsungsang Cakrabuana selaku wali dari Nyi Mas Rarasantang. Syarif Abdullah menyepakati perjanjian tersebut.
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana pun menyetujui perjanjian tersebut. Karena hal tersebut pun telah diramalkan pada saat pertemuan mereka dengan Syekh Quro, Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi. Yang secara tidak langsung ramalan tersebut merupakan nasehat dan sekaligus merupakan amanat dari para pemuka agama di sana saat itu.
Akhirnya Nyi Mas Ratu Rarasantang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud. Menikahnya Syarifah Mudaim dan Syarif Abdullah bukan merupakan kebetulan belaka. Syarif Abdullah adalah adik ipar dari Syekh Datul Kahfi. Antara Syekh Datul Kahfi, Syekh Quro dan Syekh Maulana Magribi merupakan utusan utusan dari Persia[6] yang diperintahkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menyebarkan Agama Islam diluar jazirah Arab. Penyebaran agama Islam keluar jazirah Arab sudah dilakukan beberapa abad sebelumnya, tetapi belum sanggunp mengislamisasi masal penduduk di luar jazirah Arab.
Bahkan ratusan orang mati sahid dalam perjuan dakwah tersebut. Sampai akhirnya abad ke-13 penyebaran Islam di jazirah Arab mulai mengalami penurunan, sehingga dibuatlah strategi dakwah untuk tetap menyebarkan Islam dengan cara mengirimkan para pemuka agama ke berbagai daerah. Selain berdakwah, para penyebar agama Islam tersebut menikah pula dengan penduduk lokal.
Pernikahan Nyi Mas Ratu Rarasantang merupakan sebuah skenario besar untuk melakukan Islamisasi masal melalui keturunan mereka di kemudian hari. Dengan cara mensugesti Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang, sehingga mereka mau mengikuti petunjuk para guru mereka.
Para pendakwah senior tersebut telah mengkaji dan mengambil pelajaran dari pengamalan mereka sebelumnya, dimana perkawinan antar mualaf Nyi Mas Subang Karancang, ibunda Nyi Mas Ratu Rarasantang yang berguru pada Syekh Quro, dengan Pemanah Rasa, calon Raja Sunda, gagal, tidak berhasil mengislamkan tanah Sunda, sehingga mereka membuat strategi dakwah baru dengan cara kaderisasi potensi calon-calon pendakwah baru.
Salah satu caranya adalah mengawinkan anak-anak perempuan keturunan raja-raja Jawa dengan keturunan raja-raja di Timur Tengah, yang keturunan nabi, sehingga keturunannya yang akan menyebarkan agama Islam kelak memiliki legitimasi.
Pada tahun 1448 M,Syarifah Mudaim yang dalam keadaan hamil tua menunaikan ibadah haji kembali. Di Kota Mekah ia melahirkan Syarif Hidayatullah di Kota Mekah. Dua tahun kemudian lahirlah Syarif Nurullah, adik Syarif Hidayat.
Syarif Hidayat, keponakan Pangeran Cakrabuana dibesarkan di negara ayahnya, Mesir. Syarif Hidayat tumbuh menjadi pemuda yang cerdas. Syarif Hidayatullah sangat taat menjalankan syariat Islam. Ia seorang muslim yang takwa. Syarif Hidayat gemar mempelajari ajaran Agama Islam. Ia bercita-cita mengajarkan dan menyebarkan agama Islam.Suatu hari ia membaca dan mempelajari sebuah kitab.
Dari kitab tersebut ia menyatakan keinginannya kkepada ibundanya, Syarifah Mudaim, berguru kepada Nabi Muhammad SAW. Syariffah Mudaim mengatakan bahwa Rasulullah telah meninggal dunia. Dengan ilmu yang dipelajari oleh Syarif Hidayat secara diam-diam, melalui silaturruhiyah ia bertemu dengan Nabi Khidir dan Rasulullah, hal tersebut merupakan perjalanan spiritual Syarif Hidayat yang ditulis pada Naskah Mertasinga dan Naskah Kuningan. Dalam naskah tersebut, Syarif Hidayat hendak berguru kepada Rasulullah. Namun Rasullullah menyuruh Syarif Hidayat mencari guru dzohir.
Sehingga ketika berusia dua puluh tahun, pergi ke Mekah, berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri/ Najmuddin. Naskah Kuningan menjelaskan tentang Syarif Hidayat yang berguru kepada Syekh Tajuddin. Kepada Syekh Tajuddin, Syarif Hidayat belajar adab para guru, dzikir, silsilah, shugul, Tarekat Isqiyah, dan adab Syatori. Ia juga belajar tentang ilmu syariat, ilmu tarekat, ilmu hakekat dan ilmu makrifat. Pada saat berguru pada Syekh Tajuddin, Syarif Hidayat diberi nama Madkurullah.
Setelah dua tahun lamannya, Syarif Hidayat kemudian menuntut ilmu tawasul rasulpada Syekh Athaullah Sadili, yang bermahzab Syafi’i di Bagdad. Darinya Syarif Hidayat juga belajar istilah Sirr(Sirrullah), Tarekat Syaziliyah, Tarekat Syatariyah, Isyki Naqisbandiyah, dzikir jiarah, bermeditasi, riyadhah (latihan tarekat/sufi) di tempat-tempat suci. Oleh Syekh Athaullah, Syarif idayat diberi nama Arematullah.
Setelah itu ia kembali ke negara ayahnya, dan diminta untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama pamannya, Pangeran Walangsungsang Cakrabuana. Posisi Raja Mesir diserahkan dari Patih Ongkhajuntra, paman Syarif Hidayat kepada oleh adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayat memiliki banyak nama yaitu Sayyid Kamil dan Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Sultanil Mahmud al Kibti[9]. Kemudian Sayid Kamil pergi ke pulau Jawa, di perjalanananya ia singgah di Gujarat, tingal disitu selama tiga bulan, selanjutnya ia tingal di Paseh (Pasei). Di Paseh, Syarif Hidayat tinggal di pondok saudaranya selama dua tahun, yaitu Sayid Ishaq, bapak Raden Paku/ Sunan Giri, yang menjadi guru agama Islam di Paseh di Sumatra.
Kemudian Syarif Hidayat pergi ke ke pulau Jawa, singgah di negeri Banten. Disini banyak penduduk telah memeluk agama Rasul, karena Sayyid Rahmat (Ngampel Gading) telah menyebarkan Agama Islam di sini, yang di gelari Susuhunan Ampel, juga salah seorang saudaraanya.
Berdasarkan Naskah Kuningan, Syarif Hidayat kemudian berguru pada Syekh Sidiq di Surandil jati wisik (ajaran sejati),ba’iyat serta muhal maha, talkin dalam dzikir sirr, tarekat Muhammadiyah,Anapsiah, dan Jaujiyah Makomat Pitu, serta melakukan kanaat dan uzlah.
Syarif Hidayat kemudian berguru kepada Syekh Mad Kurullah (Syekh Quro) di Gunung Gundul. Syekh Quro adalah penganut mahdzab Hanafi. Pada saat berguru pada Syekh Quro, Syarif Hidayat banyak mempelajari dan mengalami perjalanan spiritual.
Kemudian Datul Bahrul kemudian memberi nama Syarif Hidayat dengan Wujudullah dan menyarankan Syarif Hidayat menambah pengetahuan tentang pada Sunan Ampel Denta. Maka berangkatlah Syarif Hidayat pergi ke Ngampel dengan naik perahu milik orang Jawa Timur. Perjalanan Syarif Hidatyat berguru pada beberapa orang tertulis dalam Kitab Negara Kertabhumi.
Setibanya Syarif Hidayat/ Wujudullah di Ampel Denta lalu pergi menghadap dan menyampaikan hormatnya kepada yang mulia Sunan Ampel. Maka Wujudullah pun kemudian mengabdi di Ampel Denta dan dia diangkat saudara oleh anak-anaknya. Di sana sudah berguru pula murid yang lain diantaranya , Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan KaliJaga. Wujudullah sangat disayangi oleh Sunan Ampel karena berbagai ilmu yang diajarkan oleh Sunan Ampel dapat dikuasai oleh Wujudullah.
Sementara itu, para Wali semuanya (sedang) ada di situ, mereka masing-masing di beri tugas mengajarkan agama Rasul kepada penduduk di daerah yang menganut agama Siwa- Budha. Kemudian Syarif Hidayat meminta nasehat pada Sunan Ampel. Sunan Ampel memberikan nasihat sebagai berikut :
“he putra, jandika iku mung aja ngebat-tebati, iku laku ingkang ala.lawan putra ya den wani ngajaga ing perkara agama ingkang sayakti. Lan kang sabar putera iku, tawekal maring yang Widhi. Lan den esak maring sanak, saying ing kawla wargi, lawan putera ya den inget enggal, saniki wis sedeng dadi. Molana ingkang luhung, dadi guru ing Gunung Jati, ya kalawan uwa dika, mapan waris saking umi. Cipamali wates sira dumugi ing ujung kulon. Inggih waris dika ikumugi jandika wengkoni. Mung pacuan ngembat-embatan, sabab lepen cipamali wawtesing balambangan iku dudu dika waris. Poma-poma ya den emut, lawan putera dika yen wangsul ing amparan sampun margi ing darat, marginana sing lautan”.
(Anakku, janganlah kamu bertindak berlebihan karena itu adalah sifat yang tercela, dan beranilah menjaga kebenaran agama, bersabarlah, tawakkal kepada yang Maha esa, dan jangan menyakiti sesame saudara. Dan ingatlah anakku bahwa sekarang sudah cukup waktunya anakku untuk menjadi Maulana yang luhur dan menjadi Guru di Gunungjati bersama uwakmu. Mewarisi pusaka ibumu, dari Cipamali hingga di Ujung Kulon, itulah warisanmu. Hanya saja hati-hati bahwa batas dari sungan Cipamali hingga Blambangan itu bukanlah warisanmu. Ingatlah nasihatku baik-baik, dan anakku bilmana kamu pulang ke Amparan janganlah pulang melalui daratan, pergilah melalui lautan). Demikianlah pesan sang guru.
Sayid kamil menerima tugas di negeri Carbon, yaitu di Gunung Sembung, karena disana tempat tinggal uwanya, yaitu Haji Abdullah Iman yang menjadi Kuwu Carbon kedua.
Dalam perjalanan ke Carbon, Syarif Hidayat bertemu dengan Dipati Keling dan berhasil mengislamkannya berikut rombongan mereka sejumlah sembilan puluh delapan orang. Selanjutnya Dipati Keling dan rombonganpa tahun, nya menjadi pengikut Syarif Hidayat yang setia.
Setibanya di Carbon Syarif Hidayat kemudian membangun pondok dan menjadi guru agama Islam. Di Babadan Syarif Hidayat mengislamkan Ki Gede Babadan dan menikah dengan putrinya Ki Gede Babadan. Umur pernikahan mereka hanya berlangsung beberapa tahun karena Nyi Mas Babadan meninggal dunia. Kemudian Syarif Hidayat menikah dengan Syaripah Bagdad, putri Syekh Datul Kahfi.
0 Response to "Riwayat Asal Usul Raden Walang Sungsang, Pendiri Cirebon"
Post a Comment