Inilah Kumpulan Nama Tokoh Pahlawan Nasional Asal Gorontalo
Friday, July 19, 2019
Add Comment
Berikut ini adalah nama tokoh pahlawan nasional yang berasal dari Provinsi Gorontalo :
NANI WARTABONE
Nani Wartabone, lahir 30 Januari 1907 dan meninggal di Suwawa, Gorontalo, 3 Januari1986 pada umur 78 tahun. Dia adalah putra Gorontalo dan tokoh perjuangan dari provinsi Gorontalo.
Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003. Dia seorang pejuang yang aktif berorganisasi dan berjuang melawan kolonialisme di daerahnya pada masa perjuangan kemerdekaan. Dia mulai berjuang dengan mendirikan dan menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923. Lima tahun kemudian, ia menjadi Ketua PNI Cabang Gorontalo.
Nani Wartanobe adalah putra Zakaria Watabone, seorang aparat yang bekerja untuk Pemerintah Hindia Belanda. Ibunya adalah keturunan ningrat. Meskipun ayahnya bekerja untuk Belanda, Ia memiliki pandangan yang berbeda pada penjajah.
Ia tak betah bersekolah karena menurutnya guru-gurunya yang berkebangsaan Belanda terlalu mengagung-agungkan bangsa Barat dan merendahkan Bangsa Indonesia. Ia bahkan pernah membebaskan tahanan orangtuanya karena tak sampai hati melihat rakyat dihukum.
Nani Wartabone mulai aktif memperjuangkan Indonesia sejak bersekolah di Surabaya. Ia kemudian mendirikan organisasi Jong Gorontalo di Surabaya. Pada tahun 1928, Ia kembali ke Gorontalo dan membentuk perkumpulan tani (hulanga). Kepada para anggota hulanga ditanamkan rasa kebangsaan. Ia juga mendirikan cabang PNI dan Partindo. Setelah kedua organisasi itu dibubarkan, Nani Wartabone aktif di Muhammadiyah.
PERISTIWA HARI PATRIOTIK 23 JANUARI 1942
Nani Wartabone kemudian mendengar Jepang telah menduduki Manado. Orang-orang Belanda melarikan diri ke Poso. Hal ini membuat orang Belanda di Gorontalo menjadi ketakutan dan bersiap pergi dengan terlebih dahulu melakukan bumi hangus. Dia merasa waktu perlawanan terhadap Belanda telah tiba.
Pada tanggal 22 Januari 1942, Belanda membakar kapal motor Kalio dan gudang kopra di pelabuhan. Mengetahui hal ini, ia menyiapkan senjata dan para pemuda. Jumat pagi, 23 Januari 1942, pasukan yang dipimpin langsung olehnya berangkat dari Suwawa menuju Gorontalo.
Sepanjang perjalanan, banyak rakyat ikut bergabung. Pukul 09.00 pagi semua pejabat Belanda di Gorontalo berhasil ditangkap. Setelah itu, Ia memimpin rakyat menurunkan bendera Belanda dan mengibarkan bendera Merah Putih yang diiringi lagu Indonesia Raya. Kemudian Ia berpidato:
“Pada hari ini, 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita adalah Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, pemerintahan Belanda telah diambil alih oleh pemerintahan nasional”
Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya. Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Nani Wartabone ditangkap dan dipenjara di Manado hingga Juni 1944. Dia kembali dipenjara dan dipindahkan ke Morotai, lalu ke penjara Cipinang, Jakarta, karena menolak menyerahkan kekuasaan kepada Australia sebagai wakil Sekutu. Dia dibebaskan pada tanggal 23 Desember 1949.
Sebulan sesudah "Proklamasi Kemerdekaan Nasional" di Gorontalo, tentara Jepang mulai mendarat. Pada 26 Februari sebuah kapal perang Jepang yang bertolak dari Manadoberlabuh di pelabuhan Gorontalo. Nani Wartabone menyambut baik bala tentara Jepang ini dengan harapan kehadiran mereka akan menolong PPPG. Ternyata sebaliknya, Jepang justru melarang pengibaran bendera Merah Putih dan menuntut warga Gorontalo bersedia tunduk pada Jepang.
Nani Wartabone menolak permintaan ini. Namun karena tidak kuasa melawan Jepang, ia kemudian memutuskan meninggalkan kota Gorontalo dan kembali ke kampung kelahirannya Suwawa, tanpa ada penyerahan kedaulatan.
Di Suwawa Nani Wartabone mulai hidup sederhana dengan bertani. Rakyat yang berpihak kepada Nani Wartabone akhirnya melakukan mogok massal sehingga Gorontalo bagaikan kota mati. Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah, bahwa Nani Wartabone sedang menghasut rakyat berontak kepada Jepang.
Akibat fitnah itu, Nani Wartabone akhirnya ditangkap pada 30 Desember 1943 dan dibawa ke Manado. Di sini, Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan. Salah satu siksaan Jepang yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo hingga saat ini adalah, ketika Nani Wartabone selama sehari semalam ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang. Hampir sehari kepala Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir. Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak.
DITANGKAP BELANDA
Untuk memperkuat pemerintahan nasional di Gorontalo yang baru saja diambil alih dari tangan Jepang itu, Nani Wartabone merekrut 500 pemuda untuk dijadikan pasukan keamanan dan pertahanan. Mereka dibekali dengan senjata hasil rampasan dari Jepang dan Belanda.
Pasukan ini dilatih sendiri oleh Nani Wartabone, sedangkan lokasi latihannya dipusatkan di Tabuliti, Suwawa. Wilayah ini sangat strategis, berada di atas sebuah bukit yang dilingkari oleh beberapa bukit kecil, dan bisa memantau seluruh kota Gorontalo. Di tempat ini pula, raja-raja Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng pertahanan mereka.
Setelah menerima berita proklamasi di Jakarta, pada tanggal 1 September 1945 Nani Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai badan legislatif untuk mendampingi kepala pemerintahan. Dewan yang beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol. G.A. Maengkom yang pernah menjadi Menteri Kehakiman Rl dan Muhammad Ali yang pernah menjadi Kepala Bea Cukai di Tanjung Priok adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut.
Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung lama karena Sekutu masuk. Bagi Belanda yang memboncengi Sekutu ketika itu, Nani Wartabone adalah ancaman serius bagi niat mereka untuk kembali menjajah Indonesia, khususnya Gorontalo.
Mereka berpura-pura mengundang Nani Wartabone berunding pada 30 November 1945 di sebuah kapal perang Sekutu yang berlabuh di pelabuhan Gorontalo, lalu Belanda menawannya. Nani Wartabone langsung dibawa ke Manado.
Di hadapan Pengadilan Militer Belanda di Manado, Nani Wartabone dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun dengan tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942. Dari penjara di Manado, Nani Wartabone dibawa ke Morotai yang kemudian dipindahkah ke penjara Cipinang di Jakarta pada bulan Desember 1946.
Hanya sebelas hari di Cipinang, Nani kembali dibawa ke penjara di Morotai. Di sini ia kembali mengalami siksaan fisik yang sangat kejam dari tentara pendudukan Belanda. Dari Morotai, ia dikembalikan lagi ke Cipinang, sampai dibebaskan pada tanggal 23 Januari 1949, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia.
PENGHARGAAN
Pada peringatan Hari Pahlawan 2003, Presiden Megawati Soekarnoputrimenyerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone melalui ahli warisnya yang diwakili oleh salah seorang anak laki-lakinya, Hi Fauzi Wartabone, di Istana Negara, pada tanggal 7 November 2003. Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasionalberdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.
Untuk mengenang perjuangannya di Kota Gorontalo dibangun Tugu Nani Wartabone untuk mengingatkan masyarakat Gorontalo akan peristiwa bersejarah 23 Januari 1942 itu.
NANI WARTABONE
Nani Wartabone, lahir 30 Januari 1907 dan meninggal di Suwawa, Gorontalo, 3 Januari1986 pada umur 78 tahun. Dia adalah putra Gorontalo dan tokoh perjuangan dari provinsi Gorontalo.
Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003. Dia seorang pejuang yang aktif berorganisasi dan berjuang melawan kolonialisme di daerahnya pada masa perjuangan kemerdekaan. Dia mulai berjuang dengan mendirikan dan menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923. Lima tahun kemudian, ia menjadi Ketua PNI Cabang Gorontalo.
Nani Wartanobe adalah putra Zakaria Watabone, seorang aparat yang bekerja untuk Pemerintah Hindia Belanda. Ibunya adalah keturunan ningrat. Meskipun ayahnya bekerja untuk Belanda, Ia memiliki pandangan yang berbeda pada penjajah.
Ia tak betah bersekolah karena menurutnya guru-gurunya yang berkebangsaan Belanda terlalu mengagung-agungkan bangsa Barat dan merendahkan Bangsa Indonesia. Ia bahkan pernah membebaskan tahanan orangtuanya karena tak sampai hati melihat rakyat dihukum.
Nani Wartabone mulai aktif memperjuangkan Indonesia sejak bersekolah di Surabaya. Ia kemudian mendirikan organisasi Jong Gorontalo di Surabaya. Pada tahun 1928, Ia kembali ke Gorontalo dan membentuk perkumpulan tani (hulanga). Kepada para anggota hulanga ditanamkan rasa kebangsaan. Ia juga mendirikan cabang PNI dan Partindo. Setelah kedua organisasi itu dibubarkan, Nani Wartabone aktif di Muhammadiyah.
PERISTIWA HARI PATRIOTIK 23 JANUARI 1942
Nani Wartabone kemudian mendengar Jepang telah menduduki Manado. Orang-orang Belanda melarikan diri ke Poso. Hal ini membuat orang Belanda di Gorontalo menjadi ketakutan dan bersiap pergi dengan terlebih dahulu melakukan bumi hangus. Dia merasa waktu perlawanan terhadap Belanda telah tiba.
Pada tanggal 22 Januari 1942, Belanda membakar kapal motor Kalio dan gudang kopra di pelabuhan. Mengetahui hal ini, ia menyiapkan senjata dan para pemuda. Jumat pagi, 23 Januari 1942, pasukan yang dipimpin langsung olehnya berangkat dari Suwawa menuju Gorontalo.
Sepanjang perjalanan, banyak rakyat ikut bergabung. Pukul 09.00 pagi semua pejabat Belanda di Gorontalo berhasil ditangkap. Setelah itu, Ia memimpin rakyat menurunkan bendera Belanda dan mengibarkan bendera Merah Putih yang diiringi lagu Indonesia Raya. Kemudian Ia berpidato:
“Pada hari ini, 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita adalah Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, pemerintahan Belanda telah diambil alih oleh pemerintahan nasional”
Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya. Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Nani Wartabone ditangkap dan dipenjara di Manado hingga Juni 1944. Dia kembali dipenjara dan dipindahkan ke Morotai, lalu ke penjara Cipinang, Jakarta, karena menolak menyerahkan kekuasaan kepada Australia sebagai wakil Sekutu. Dia dibebaskan pada tanggal 23 Desember 1949.
Sebulan sesudah "Proklamasi Kemerdekaan Nasional" di Gorontalo, tentara Jepang mulai mendarat. Pada 26 Februari sebuah kapal perang Jepang yang bertolak dari Manadoberlabuh di pelabuhan Gorontalo. Nani Wartabone menyambut baik bala tentara Jepang ini dengan harapan kehadiran mereka akan menolong PPPG. Ternyata sebaliknya, Jepang justru melarang pengibaran bendera Merah Putih dan menuntut warga Gorontalo bersedia tunduk pada Jepang.
Nani Wartabone menolak permintaan ini. Namun karena tidak kuasa melawan Jepang, ia kemudian memutuskan meninggalkan kota Gorontalo dan kembali ke kampung kelahirannya Suwawa, tanpa ada penyerahan kedaulatan.
Di Suwawa Nani Wartabone mulai hidup sederhana dengan bertani. Rakyat yang berpihak kepada Nani Wartabone akhirnya melakukan mogok massal sehingga Gorontalo bagaikan kota mati. Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah, bahwa Nani Wartabone sedang menghasut rakyat berontak kepada Jepang.
Akibat fitnah itu, Nani Wartabone akhirnya ditangkap pada 30 Desember 1943 dan dibawa ke Manado. Di sini, Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan. Salah satu siksaan Jepang yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo hingga saat ini adalah, ketika Nani Wartabone selama sehari semalam ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang. Hampir sehari kepala Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir. Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak.
DITANGKAP BELANDA
Untuk memperkuat pemerintahan nasional di Gorontalo yang baru saja diambil alih dari tangan Jepang itu, Nani Wartabone merekrut 500 pemuda untuk dijadikan pasukan keamanan dan pertahanan. Mereka dibekali dengan senjata hasil rampasan dari Jepang dan Belanda.
Pasukan ini dilatih sendiri oleh Nani Wartabone, sedangkan lokasi latihannya dipusatkan di Tabuliti, Suwawa. Wilayah ini sangat strategis, berada di atas sebuah bukit yang dilingkari oleh beberapa bukit kecil, dan bisa memantau seluruh kota Gorontalo. Di tempat ini pula, raja-raja Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng pertahanan mereka.
Setelah menerima berita proklamasi di Jakarta, pada tanggal 1 September 1945 Nani Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai badan legislatif untuk mendampingi kepala pemerintahan. Dewan yang beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol. G.A. Maengkom yang pernah menjadi Menteri Kehakiman Rl dan Muhammad Ali yang pernah menjadi Kepala Bea Cukai di Tanjung Priok adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut.
Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung lama karena Sekutu masuk. Bagi Belanda yang memboncengi Sekutu ketika itu, Nani Wartabone adalah ancaman serius bagi niat mereka untuk kembali menjajah Indonesia, khususnya Gorontalo.
Mereka berpura-pura mengundang Nani Wartabone berunding pada 30 November 1945 di sebuah kapal perang Sekutu yang berlabuh di pelabuhan Gorontalo, lalu Belanda menawannya. Nani Wartabone langsung dibawa ke Manado.
Di hadapan Pengadilan Militer Belanda di Manado, Nani Wartabone dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun dengan tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942. Dari penjara di Manado, Nani Wartabone dibawa ke Morotai yang kemudian dipindahkah ke penjara Cipinang di Jakarta pada bulan Desember 1946.
Hanya sebelas hari di Cipinang, Nani kembali dibawa ke penjara di Morotai. Di sini ia kembali mengalami siksaan fisik yang sangat kejam dari tentara pendudukan Belanda. Dari Morotai, ia dikembalikan lagi ke Cipinang, sampai dibebaskan pada tanggal 23 Januari 1949, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia.
PENGHARGAAN
Pada peringatan Hari Pahlawan 2003, Presiden Megawati Soekarnoputrimenyerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone melalui ahli warisnya yang diwakili oleh salah seorang anak laki-lakinya, Hi Fauzi Wartabone, di Istana Negara, pada tanggal 7 November 2003. Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasionalberdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.
Untuk mengenang perjuangannya di Kota Gorontalo dibangun Tugu Nani Wartabone untuk mengingatkan masyarakat Gorontalo akan peristiwa bersejarah 23 Januari 1942 itu.
0 Response to "Inilah Kumpulan Nama Tokoh Pahlawan Nasional Asal Gorontalo"
Post a Comment