Asal Usul Bondan Kejawen, Perintis Kesultanan Mataram

Bondan Kejawan merupakan putra ke 14 Prabu Brawijaya, raja Kerajaan Majapahit terakhir dengan seorang Putri Wandan Sari, seorang dayang yang biasa melayani permaisuri Prabu Brawijaya, Dewi Dwarawati (Putri Campa).

Ketika putri Wandan Sari ini melahirkan anak dari benih Prabu Brawijaya, bayi tersebut diberikan kepada Ki Buyut Masahar dengan pesan agar bayi tersebut dilenyapkan. Prabu Brawijaya berpesan demikian, karena menurut ramalan para ahli nujum anak ini kelak akan membawa keburukan bagi Kerajaan Majapahit. Akan tetapi anak ini justru dipelihara oleh Ki Buyut Masahar.

Suatu ketika Ki Buyut Masahar menghadap ke Majapahit dan anak yang kemudian diberi nama Bondan Kejawan ini ikut. Ketika Ki Buyut Masahar sibuk dalam pisowanan, Bondan Kejawan justru memukul-mukul gong Kyai Sekar Delima yang menjadi salah satu pusaka Keraton Majapahit. Bondan Kejawan ditangkap dan dihadapkan pada Prabu Brawijaya. Ketika Prabu Brawijaya mengetahui hal itu Bondan Kejawan akan dihukum mati. Akan tetapi atas penjelasan Ki Buyut Masahar, Prabu Brawijaya kemudian tahu bahwa Bondan Kejawan adalah anaknya sendiri. Hukuman mati pun dibatalkan.

Setelah tahu bahwa Bondan Kejawan adalah anaknya sendiri maka Bondan Kejawan justru diberi hadiah berupa senjata pusaka, yang salah satunya adalah tombak Kyai Pleret. Bondan Kejawan kemudian disuruh berguru kepada Ki Ageng Tarub. Ki Ageng Tarub yang dengan Dewi Nawangwulan memiliki putri bernama Nawangsih. Dengan Dewi Nawangsih ini kemudian dikawinkan dengan Bondan Kejawan dan melahirkan Ki Ageng Getas Pendawa. Ki Getas Pendawa menurunkan Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela menurunkan Ki Ageng Enis. Ki Ageng Nis menurunkan Ki Ageng Pemanahan yang kemudian menurunkan Panembahan Senopati. Dari sinilah Dinasti Mataram bermula.

Sekalipun nisan Bondan Kejawan diyakini berada di Dusun Gejawan, namun banyak pula pendapat yang menyatakan bahwa nisan tersebut hanya merupakan salah satu penanda petilasan Bondan Kejawan dan bukan merupakan makam dari Bondan Kejawan. Keberadaan petilasan Bondan Kejawan di Gamping inilah yang kemudian menyebabkan wilayah tempat beradanya petilasan tersebut dinamakan Dusun Gejawan. Nama Gejawan merupakan perubahan dari Kejawan.

Pada tahun 674 M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan, memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam.

Pada tahun 718M raja Srivijaya Sri Indravarman setelah kerusuhan Kanton juga masuk Islam pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah).

Pada tahun 896 M keluarga besar Imam Ahmad Al Muhajir keturunan ke 7 dari Husain bin Ali (Cucu Nabi Muhammad SAW) bersama 70 orang anggota keluarganya hijrah dari Iraq ke Madinah dan Mekah, karena alasan keamanan. Dari Mekah hijrah ke Hadral Maut, Yaman sekitar tahun 898 M. Kemudian dari Hadral Maut inilah mereka melakukan penyebaran Islam melalui jalur India Selatan, Kamboja atau Champa, Malaysia, dan Indonesia.

Tahap awal penyebaran Islam ke wilayah Nusantara diperkirakan melalui jalur perdagangan perorangan sebagai upaya penyelidikan dan penyusunan strategi yang paling tepat, seperti yang dilakukan oleh Ali bin Muhammad ad-dibaj ayah dari Abdul Aziz Syah, Sultan Perlak I (Aceh-840-864 M) yang Kawin Silang dengan adik Raja Perlak yang bernama Makhdum Tansyuri. Di Nusantara para pedagang dari Hadral Maut ini juga sampai di Pulau Jawa pada zaman Kerajaan Kediri (1042-1122), Kerajaan Singasari (1222-1292) sampai dengan pertengahan zaman Kerajaan Majapahit sekitar abad ke 13.

Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara. Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah.

Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082 M),Tahap berikutnya penyebaran Islam secara besar-besaran dilakukan secara bertahap dengan cara yang sistematis dan dilakukan sebagai "Misi" yang terorganisasi. Rombongan pertama bergerak dari Champa menuju Kelantan (Malaysia) pada tahun 1349, kemudian ke Samudra Pasai dan sampai di Jawa pada tahun 1404 dipimpin oleh Syekh Jamaludin Husen Akbar dan putranya Syekh Maulana Maliq Ibrahim / Sunan Gresik. Masuk lewat Semarang kemudian bergerak ke Trowulan pusat kota Majapahit. Rombongan mereka juga masuk ke daerah Pekalongan bersama 25 orang Al-Maghrobi.

Di Pulau Jawa Al-Maghroby-Al-Maghrobi tersebut melalui Dewan Perwalian Penyebaran Islam secara gradual dan terarah membentuk Wali-7 dan Wali-9 yang anggotanya berganti-ganti. Untuk mempercepat penyebaran Islam di Jawa Wali-7 maupun Wali-9 menggunakan strategi "Perkawinan Silang" dengan keturunan langsung maupun tidak langsung Kerajaan Majapahit, Kerajaan Pajajaran, Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, Kesultanan Mataram, Kesultanan Cirebon, Kerajaan Sumedang Larang dan Kesultanan Banten.

Perkawinan Silang pertama yang "kontroversial" adalah adik Sunan Ampel yang bernama Syarifah Siti Jaenab yang menikah dengan Raja Majapahit terakhir (Brawijaya V) yaitu Prabu Kertabhumi, dari perkawinan tersebut lahirlah Raden Patah / Jin Bun yang pada akhirnya membentuk Kesultanan Demak yang bernapaskan Islam. Kemudian Perkawinan Silang berikutnya antara Syekh Maulana Maliq Ibrahim / Sunan Gresik dengan Dewi Rasawulan adik Sunan Kalijaga yang melahirkan Abdurrahim Al-Maghribi atau Raden Jaka Tarub.

Kemudian Perkawinan Silang antara Wan Abdullah atau Syarif Abdullah Umdatuddin dengan Nyai Rara Santang atau Hajjah Syarifah Muda'im putri Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja raja Pajajaran (1482-1521) yang menurunkan putra Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah pendiri Kesultanan Cirebon, yang kelak mendirikan Kesultanan Bantenmelalui putranya Sultan Hasanuddin.

Keturunan Brawijaya V yang melakukan perkawinan silang adalah Raden Bondan Kejawan dengan Retno Dewi Nawangsih(putri Jaka Tarub, putra Syekh Maulana Maliq Ibrahim / Sunan Gresik) yang kemudian melahirkan beberapa tokoh kunci penerus Kerajaan Majapahit dan Perintis Kesultanan Mataram yang selanjutnya membentuk Kesultanan Mataram Islam kelanjutan kerajaan Pajang yang mulai runtuh.

PERINTIS KESULTANAN MATARAM

Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid Laweyan.

Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawimereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti: Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerangdan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya majapahit yang keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti: tokoh besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.

Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan Mataram yaitu:

Fakta 1: Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah dapat dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang memerintah maupun terhadap masyarakat luas;

Fakta 2: Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo beserta leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yang sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga sering berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau dan Pesantren;

Fakta 3: Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.

Fakta 4: Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3, seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan Sarosoan Banten, di luar adanya perebutan kekuasaan.

Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh dan para Wali.

0 Response to "Asal Usul Bondan Kejawen, Perintis Kesultanan Mataram"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel